Senin, 05 Januari 2009

Reformasi Hubungan Pusat - Daerah

Di tengah pergaulan dunia yang semakin tidak mengenal batas negara sehingga arus informasi tak mungkin dikekang siapapun, maka bentuk-bentuk ketimpangan antar daerah dalam suatu negara ataupun negara bertetangga merupakan potensi yang besar bagi munculnya ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan.
Jika dibandingkan tingkat PDRB per kapita dengan tingkat konsumsi per kapita propinsi-propinsi di Indonesia dengan di Thailand, Malaysia dan Filipina dengan menggunakan data tahun 1980-an, maka terlihat perbedaan yang sangat kontras antara potensi kekayaan dengan tingkat konsumsi aktual masyarakat di berbagai daerah di Thailand, Filipina, Malaysia dan Indonesia. Informasi yang diambil dari studi Anne Booth (1992) ini menunjukkan betapa tingkat konsumsi per kapita propinsi-propinsi terkaya di Indonesia tergolong yang terendah di negara-negara tetangganya yang notabene relatif miskin dilihat dari PDRB per kapita-nya.

Potret Hubungan Keuangan Pusat - Daerah

Salah satu pilar yang harus ditegakkan untuk memberdayakan dan mengembangkan otonomi daerah adalah aspek pembiayaan. Tanpa keseimbangan pemberian otonomi antara tugas dan tanggung jawab dengan aspek pendanaannya, maka esensi otonomi menjadi kabur. Disinilah salah satu masalah utama dari pemberdayaan daerah dalam upaya pemerataan pembangunan. Profil Hubungan Keuangan Pusat - Daerah hingga kini menunjukkan cengkeraman Pemerintah Pusat atas Pemerintah daerah. Data perbandingan dengan beberapa negara sedang berkembang menunjukkan hal ini secara gamblang. Sekalipun data yang digunakan merujuk pada tahun-tahun yang berbeda untuk tiap negara, namun pola yang digambarkan cenderung tetap untuk jangka waktu yang relatif panjang, sehingga dapat mencerminkan pola Hubungan Keuangan Pusat - Daerah yang baku.
Parahnya ketimpangan Hubungan Keuangan Pusat - Daerah terlihat dari kenyataan bahwa Pemerintah Pusat mengangkangi 93 persen dari penerimaan Negara. Pendapatan Asli Daerah seluruh daerah Kab/Kota hanya 7 persen dari keseluruhan penerimaan Negara. Memang selanjutnya Pemerintah Pusat mengalirkan kembali sebagian penerimaan yang dikelolanya (transfer dan bagi hasil pajak), namun ini hanya mampu mendongkrak penerimaan daerah total menjadi hanya 17 persen saja. Jadi, masih jauh dari jiwa otonomi yang digembar-gemborkan Pemerintah selama ini.

Dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk yang bentuknya Negara Kesatuan, ternyata sistem keuangan di Indonesia yang paling sentralistik (terpusat). Porsi daerah dalam penerimaan Pemerintah Pusat hanya 7 persen, sedangkan untuk pengeluaran cuma 22 persen. Betapa tergantungnya anggaran Pemerintah Daerah kepada Pusat terlihat pula dari share penerimaan Pemerintah Daerah terhadap pengeluarannya yang hanya 30 persen. Bandingkan dengan Cina sebagai kasus ekstrim yang sharenya mencapai 100 persen. Dengan demikian sejauh ini tampak perputaran roda pembangunan Daerah di Indonesia sangat bergantung pada mood Pemerintah Pusat dalam mengucurkan dananya ke Daerah.
Gambarannya semakin parah untuk Daerah Kab/Kota. Jika masih banyak daerah Kota yang terpuruk dalam menghimpun Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk mengejar kebutuhan yang terus meningkat, maka akan lebih sulit lagi bagi daerah yang berstatus kabupaten. Dengan telah menghitung transfer dari Pemerintah Pusat sekalipun, ternyata tidak banyak merubah gambaran suram di atas. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau pada akhirnya Indonesia memiliki koefisiensi ketimpangan fiskal vertikal yang paling buruk.

Yang lebih mengenaskan adalah tidak kurang dari 7 Propinsi memiliki elastisitas PAD terhadap PDRB yang lebih rendah dari 1 (satu). Pada hal lazimnya elastisitas berbagai jenis penerimaan Pemerintah Pusat (khususnya pajak) terhadap PDRB jauh lebih besar dari 1 (satu). Dari gambaran ini, jelas terlihat hampir seluruh sumber penerimaan pajak yang paling potensial ditarik oleh Pemerintah Pusat. Keadaan ini merupakan salah satu bentuk disinsentif bagi daerah untuk memacu pembangunan dan menggalakkan penerimaan PAD.
Katakanlah bahwa Pemerintah Daerah mampu meningkatkan penanaman modal dan iklim usaha, sehingga produksi dan penyerapan tenaga kerja di daerah meningkat. Berbagai aktivitas ekonomi ini tentu saja akan meningkatkan potensi penerimaan dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Tetapi kedua jenis pajak tersebut merupakan hak sepenuhnya dari Pemerintah Pusat. Memang aktivitas-aktivitas tersebut menguntungkan bagi daerah karena akan meningkatkan penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta beberapa pungutan lain. Tetapi kenaikannya relatif kecil dibandingkan dengan yang ditarik Pusat, serta jauh dari memadai dibandingkan dengan tuntutan pembangunan daerah.

Di tengah masalah pembangunan yang semakin pelik dan beragam antar daerah, kiranya pendekatan yang serba terpusat/sentralistik, departemental, pukul rata, dan sektoral, sudah semakin perlu untuk ditinjau kembali. Tanpa adanya perubahan yang cukup mendasar dalam pola Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, agaknya sulit membayangkan terjadinya perbaikan ketimpangan pembangunan antar daerah. Diperkirakan, jika kecenderungan hingga sekarang ini berlaku terus, maka dalam 25 tahun mendatang, ketimpangan antar daerah akan semakin melebar. Lebih ironis lagi, pangsa PDRB dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam terhadap Pendapatan Daerah Bruto (PDB) akan mengalami kemerosotan.
Peningkatan peran daerah yang perlu digarisbawahi ialah langkah nyata menuju kepastian mengenai tambahan sumber penerimaan daerah. Pemerintah Pusat bisa memulainya dengan - sebagai salah satu contoh - menyerahkan sepenuhnya pajak pertumbuhan nilai (PPN) dan seluruh jenis royalty serta iuran hasil alam lainnya kepada Daerah. Dengan tetap mengelola sepenuhnya pajak pendapatan (perusahaan dan perseorangan) Pemerintah Pusat masih sangat leluasa untuk membantu Daerah-Daerah yang memang miskin sumber daya ekonominya. Hingga kini belum ada kepastian hukum tentang berapa porsi dana yang didistribusikan ke daerah.

Sekalipun disadari masih terbuka peluang yang cukup besar dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, namun tampaknya untuk mengakselerasikan proses pembangunan di daerah, mutlak memerlukan pengaturan kembali dalam Hubungan Keuangan Pusat-Daerah. Pengalihan wewenang untuk beberapa sumber pajak atas transaksi sudah selayaknya dilaksanakan. Sumber-sumber penerimaan dari obyek kekayaan bisa diintensifkan dan dibuat lebih progresif, misalnya dengan meningkatkan tarif pajak efektif untuk PBB yang kini tergolong terendah di dunia.
Sumber-sumber penerimaan Daerah lainnya yang potensial adalah bagi hasil yang lebih besar dari royalti dan pungutan lainnya atas kekayaan alam, khususnya hutan. Bank Dunia memperkirakan, dengan menaikkan royalti dan pungutan atas pengusahaan hutan, maka rente yang diterima oleh pemerintah bisa meningkat dari sekitar 20 persen sekarang ini menjadi 85 persen sehingga dalam jangka menengah penerimaan Pemerintah meningkat 3 kali dari sekarang. Selain akan berdampak pada pemanfaatan sumber kekayaan hutan yang lebih efisien dan berkesinambungan, peningkatan rente ekonomi ini juga bisa merupakan tambahan penerimaan Pemerintah Daerah.
Dihadapkan pada kondisi sekarang ini dan ditambah lagi dengan cara-cara pengaturan atau regulasi yang tidak berdimensi spatial, agaknya amat sulit bagi Daerah untuk berinisiatif memajukan industri di Daerahnya, karena antara lain insentif untuk itu nyata-nyata hampir tidak berarti bagi kemajuan hakiki Daerahnya sendiri. Daerah tinggal menunggu limpahan dari tetangganya yang sudah jenuh. Oleh karena itu proses penyebaran industri akan berlangsung sangat lama. Entah kapan daerah-daerah yang paling tertinggal, apalagi di ujung timur Indonesia, akan menikmati modernisasi dan kesejahteraan sosial yang berkeadilan.

Save our Nation from central government un-justice
Edit by YDL'09

1 komentar:

Ndaru mengatakan...

Salam kenal mas,
saya tanya dikit yaa.. tentang angka porsi penerimaan daerah 7% dan porsi pengeluaran daerah 22% itu diambil dari mana datanya, dan apa sebenarnya maksudnya? Apakah berarti daerah menyumbang 7% dr penerimaan pemerintah, dan kemudian menerima 22%?
adakah referensi dari APBN 2008/9 di sini? => http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/link.asp?link=1100000
Trims ya

Total Tayangan Halaman

ARTI SAKATIK

SELAMAT DATANG DI BLOG SAKATIK.COM
KATA SAKATIK DIAMBIL DARI BAHASA DAYAK NGAJU YANG MEMILIKI ARTI "SEBAGAI PEMBIMBING" ATAU BISA DIKATAKAN SEBAGAI "MENTOR/GEMBALA" BAGI SEMUA ORANG.
MELALUI BLOG INI SEMOGA DAPAT MENJADI SEBUAH SUMBER KEBAIKAN BAGI SEMUA ORANG.