Selasa, 28 Oktober 2008

DOA YANG INDAH


Aku meminta kepada Tuhan
untuk menyingkirkan penderitaanku.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Itu bukan untuk Kusingkirkan,
tetapi agar kau mengalahkannya".

Aku meminta kepada Tuhan
untuk menyempurnakan kecacatanku.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Jiwa adalah sempurna,
badan hanyalah sementara".

Aku meminta kepada Tuhan
untuk menghadiahkanku kesabaran.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Kesabaran adalah hasil dari kesulitan;
itu tidak dihadiahkan, itu harus
dipelajari".

Aku meminta kepada Tuhan
untuk memberiku kebahagiaan.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Aku memberimu berkat.
Kebahagiaan adalah tergantung
padamu".

Aku meminta kepada Tuhan
untuk menjauhkan penderitaan.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Penderitaan mejauhkanmu
dari perhatian duniawi dan
membawamu mendekat
padaKu".

Aku meminta kepada Tuhan
untuk menumbuhkan rohku.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Kau harus menumbuhkannya sendiri,
tetapi Aku akan memangkas
untuk membuatmu berbuah".

Aku meminta kepada Tuhan
segala hal sehingga aku dapat
menikmati hidup.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Aku akan memberimu hidup,
sehingga kau dapat menikmati
segala hal".

Aku meminta kepada Tuhan
membantuku mengasihi orang lain,
seperti Ia mengasihiku.
Tuhan menjawab..
"Ahhh, akhirnya kau mengerti".

HARI INI ADALAH MILIKMU JANGAN SIA-SIAKAN

Rabu, 22 Oktober 2008

HUBUNGAN PEMERINTAHAN PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DARI ASPEK KEWENANGAN (DALAM KORIDOR UU NO.32 TAHUN 2004)

I. LANDASAN KONSEPSI

Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi NKRI. Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai desentralisasi. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat Negara. Artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-¬kesatuan pemerintahan regional atau lokal. Sementara itu nilai dasar desentralisasi diwujudkan dengan pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan atau diakui Sebagai domain rumah tangga daerah otonom tersebut.

Dikaitkan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan pola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini karena dalam penyelenggaraan desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-¬bagian tertentu urusan pemerintahan.
Sesuai UUD 1945, karena Indonesia adalah "Eenheidstaat", maka di dalam lingkungannya tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat staat juga. Ini berarti bahwa sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara. Dengan demikian pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki ciri¬-ciri :
a) Daerah Otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal; b)Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atas urusan pemerintahan; c) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada butir b; tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Dengan demikian jelaslah bahwa desentralisasi merupakan instrumen untuk mencapai tujuan bernegara dalam kerangka kesatuan bangsa (national unity) yang demokratis (democratic government). Dalam konteks UUD 1945, selalu harus diperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk menyelenggarakan desentralisasi dengan kebutuhan memperkuat kesatuan nasional.
Oleh sebab itu ciri umum penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia sesuai dengan UUD 1945 adalah :
1) Pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan oleh Pemerintah, bahkan dapat dihapus oleh Pemerintah melalui proses hukum apabila daerah tidak mampu menjalankan otonominya setelah melalui fasilitasi pemberdayaan; 2) Dalam rangka desentralisasi, di wilayah Indonesia dibentuk Provinsi dan di wilayah Provinsi dibentuk Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom; 3) Sebagai konsekuensi ciri butir 1 dan 2, maka kebijakan desentralisasi disusun dan dirumuskan oleh Pemerintah, sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan melibatkan masyarakat sebagai cerminan pemerintahan yang demokratis; 4) Hubungan antara pemerintah daerah otonom dengan pemerintah nasional (Pusat) adalah bersifat tergantung (dependent) dan bawahan (sub¬ordinate). Hal ini berbeda dengan hubungan antara pemerintah negara bagian dengan pemerintah federal yang menganut prinsip federalisme, yang sifatnya independent dan koordinatif; 5) Penyelenggaraan desentralisasi menuntut persebaran urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi Lembaga Negara yang membidangi legislatif atau lembaga pembentuk Undang-Undang dan yudikatif ataupun lembaga Negara yang berwenang mengawasi keuangan Negara. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang di desentralisasikan menjadi kewenangan Kepala Daerah dan DPRD untuk melaksanakannya sesuai dengan mandat yang diberikan rakyat.

Persebaran urusan pemerintahan ini memiliki dua prinsip pokok :
a) Selalu terdapat urusan pemerintahan yang umumnya secara universal tidak dapat diserahkan kepada daerah karena menyangkut kepentingan kelangsungan hidup bangsa dan negara seperti urusan pertahanan-keamanan, politik luar negeri, moneter, dan peradilan; b) Tidak ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah. Untuk urusan¬-urusan pemerintahan yang berkaitan kepentingan lokal, regional dan nasional dilaksanakan secara bersama (concurrent). Ini berarti ada bagian-bagian dari urusan pemerintahan tertentu yang dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, ada bagian-bagian yang diselenggarakan oleh Provinsi dan bahkan ada juga yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Diperlukan adanya hubungan koordinasi antar tingkatan pemerintahan agar urusan-urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dapat terselenggara secara optimal.

Mengingat urusan pemerintahan bersifat dinamis maka dalam penyerahan urusan pemerintahan tersebut selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Untuk menjamin kepastian, perubahan-perubahan tersebut perlu didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu selalu ada dinamika dalam distribusi urusan pemerintahan (inter-governmental function sharing) antar tingkatan pemerintahan; Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat.

Secara universal terdapat dua pola besar dalam merumuskan distribusi urusan pemerintahan, yakni :
(1) pola-general competence (otonomi luas) dan
(2) pola ultra vires (otonomi terbatas).

Dalam pola otonomi luas dirumuskan bahwa urusan-¬urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam prinsip Ultra Vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pusat.

Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah Provinsi dipimpin oleh Kepala Daerah Provinsi yang disebut Gubernur yang juga bertindak sebagai wakil Pusat di Daerah. Sebagai wakil Pemerintah di Daerah, Gubernur melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) terhadap Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya agar otonomi daerah Kabupaten/Kota tersebut bisa berjalan secara optimal. Sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur juga melaksanakan urusan-urusan nasional yang tidak termasuk dalam otonomi daerah dan tidak termasuk urusan instansi vertikal di wilayah Provinsi yang bersangkutan. Disamping itu, sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur mempunyai peranan selaku "Integrated Field Administration" yang berwenang mengkoordinir semua instansi vertikal yang ada di Provinsi yang bersangkutan disamping melakukan supervisi dan fasilitasi terhadap Kabupaten/ Kota yang ada di wilayahnya.
Gubernur mempunyai "Tutelage Power" yaitu menjalankan kewenangan Pusat untuk membatalkan kebijakan Daerah bawahannya yang bertentangan dengan kepentingan umum ataupun peraturan perundangan yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut maka diperlukan pengaturan yang sistematis yang menggambarkan adanya kewenangan Gubernur yang berkaitan dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan.
Selain urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara sentralisasi, terdapat urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara desentralisasi. Desentralisasi dalam arti lugs dapat dilakukan secara devolusi, dekonsentrasi, privatisasi dan delegasi (Rondinelli & Cheema, 1983). Pemahaman devolusi di Indonesia mengacu kepada desentralisasi sedangkan delegasi terkait dengan pembentukan lembaga semi pemerintah (Quasi Government Organisation/Quango) yang mendapatkan delegasi Pemerintah untuk mengerjakan suatu urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah (Muthallib & Khan, 1980). Lembaga yang terbentuk berdasarkan prinsip delegasi dapat berbentuk Badan Otorita, Badan Usaha Milik Negara, Batan, LEN, Bakosurtanal dsb.
Dalam konsep otonomi luas, maka urusan pemerintahan yang tersisa di Daerah (residual functions) atau Tugas Pemerintah lainnya yang belum ditangani dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Hal inilah yang sering dikelompokkan dalam pelaksanaan azas vrisj bestuur. Vrisj Bestuur yang bersifat lintas Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Propinsi sedangkan yang lokal menjadi kewenangan Kabupaten/ Kota. Konsep privatisasi berimplikasi pada dilaksanakannya sebagian fungsi-fungsi yang sebelumnya merupakan kewenangan Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah oleh pihak swasta. Variant lainnya dari privatisasi adalah terbukanya kemungkinan kemitraan (partnership) antara pihak Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan pihak swasta dalam bentuk Built Operate Own (BOO), Built Operate Transfer (BOT), management contracting out dsb.

Penyelenggaraan tugas pembantuan (Medebewind) diwujudkan dalam bentuk penugasan oleh pemerintah pusat kepada Daerah atau Desa atau oleh Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan Desa untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan. Pembiayaan dan dukungan sarana diberikan oleh yang menugaskan sedangkan yang menerima penugasan wajib untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas tersebut kepada yang menugaskan.

Penyelenggaraan Pemerintahan Nasional dilaksanakan oleh Departemen dan Kementrian Negara serta LPND. Untuk melaksanakan kewenangan Pusat di Daerah digunakan alas dekonsentrasi yang dilaksanakan oleh instansi vertikal balk yang wilayah yurisdiksinya mencakup satu wilayah kerja daerah otonom maupun mencakup beberapa wilayah kerja daerah otonom seperti adanya KODAM, POLDA, Kejaksaan, Badan Otorita Pusat di Daerah dan lain-lainnya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD yang bekerja atas dasar kemitraan dan bukan membawahkan satu sama lainnya. Dalam menyusun dan merumuskan kebijakan daerah, kedua institusi tersebut bekerjasama dengan semangat kemitraan. Namun pada saat pelaksanaan (implementasi), kedua institusi memiliki fungsi yang berbeda. Kepala Daerah melaksanakan kebijakan Daerah dan DPRD melakukan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan daerah. Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) diadopsi prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif, efisien, transparan, demokratis, partisipatif, dan akuntabel. Oleh sebab itu hubungan antar Kepala Daerah, DPRD, dan masyarakat daerah dalam rangka checks and balances menjadi kebutuhan mutlak.

Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi salah sate ciri penting pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini karena karakteristik sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia yang sangat beragam dari satu daerah dengan daerah yang lain. Sebagai perwujudan nilai dasar konstitusi maka diperlukan pengaturan tentang pembagian hasil atas pengelolaan sumber daya alam, buatan maupun atas basil kegiatan perekonomian lainnya yang intinya untuk memperlancar pelaksanaan otonomi daerah, dan pada saat yang sama memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik sebagai refleksi dari proses demokratisasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal yang pada gilirannya secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan kesejahteraan akan memposisikan Pemda sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pelayanan yang disediakan Pemda kepada masyarakat ada yang bersifat regulative (public regulations) seperti mewajibkan penduduk untuk mempunyai KTP, KK, IMB dan sebagainya. Sedangkan bentuk pelayanan lainnya adalah yang bersifat penyediaan public goods yaitu barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumah sakit, terminal dan sebagainya. Apapun barang dan regulasi yang disediakan oleh Pemda haruslah menjawab kebutuhan rid warganya. Tanpa itu, Pemda akan kesulitan dalam memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah diberikan warga kepada Pemda untuk mengatur dan mengurus masyarakat. Untuk itulah maka seluas apapun otonomi atau kewenangan yang dilaksanakan oleh Daerah, kewenangan itu tetap ada batas--batasnya, yaitu rambu-rambu berupa pedoman dan arahan, serta kendali dari Pemerintah, balk berupa UU, PP, atau kebijakan lainnya.

Disamping itu haruslah kewenangan tersebut berkorelasi dengan kebutuhan nil masyarakat. Kewenangan tersebut yang memungkinkan Daerah mampu memberikan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Argumen inilah yang menjadi dasar kenapa urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dikelompokkan menjadi dua yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib berkorelasi dengan penyediaan pelayanan dasar dan urusan pilihan terkait dengan pengembangan potensi unggulan yang menjadi ke-khas-an daerah yang bersangkutan.

Dari tujuan demokratisasi dan kesejahteraan diatas, maka misi utama dari keberadaan Pemda adalah bagaimana mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektip, efisien dan ekonomis serta melalui cara¬cara yang demokratis. Untuk mampu menyediakan pelayanan publik yang optimal dan mempunyai kepastian maka untuk penyediaan pelayanan dasar diperlukan adanya Standard Pelayanan Minimum (SPM). SPM yang menjadi "benchmark" bagi Pemda dalam mengatur aspek kelembagaan, personil, keuangan, dan mengukur kinerja dalam penyediaan pelayanan publik. Sisi demokratisasi pada Pemda berimplikasi bahwa Pemda dijalankan oleh masyarakat daerah sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis. Dalam menjalankan misinya untuk mensejahterakan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta mengagregasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam kebijakan¬-kebijakan publik di tingkat lokal. Namun kebijakan publik di tingkat lokal tidak boleh bertentangan dengan kebijakan publik nasional dan diselenggarakan dalam koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang berlaku pada negara dan bangsa tersebut.

II. HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH

Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat dilihat dari Adanya hubungan dalam penye¬lenggaraan pemerintahan; Kebijakan desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Peran Pusat dalam kerangka otonomi Daerah akan banyak bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity building) agar Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standard dan prosedur yang ditentukan Pusat.

Hubungan dan Distribusi Kewenangan.

Daerah Otonom diberi wewenang untuk mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Seluas apapun Otonomi Daerah, tetap ada dalam batas dan ruang lingkup wewenang Pemerintah. Pemerintah Pusat yang mengatur hubungan antara Pusat dan Daerah yang dituangkan dalam Peraturan Perundangan yang bersifat mengikat kedua belah pihak. Namun dalam pengaturan hubungan tersebut haruslah memperhatikan aspirasi Daerah sehingga tercipta sinerji antara kepentingan Pusat dan Daerah. Agar terwujud distribusi kewenangan mengelola urusan pemerintahan yang efisien dan efektip antar tingkatan pemerintahan, maka distribusi kewenangan mengacu pada kriteria sebagai berikut:
a) Externalitas; unit pemerintahan yang terkena dampak langsung dari pelaksanaan suatu urusan pemerintahan, mempunyai kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan tersebut; b) Akuntabilitas; unit pemerintahan yang berwenang mengurus suatu urusan pemerintahan adalah unit pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan urusan tersebut. Ini terkait dengan pertanggung jawaban (akuntabilitas) dari pengelolaan urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat yang menerima dampak langsung dari urusan tersebut. Urusan lokal akan menjadi kewajiban Kabupaten/ Kota untuk mempertanggung jawabkan dampaknya. Urusan yang berdampak regional akan menjadi tanggung jawab Provinsi dan urusan yang berdampak nasional akan menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat; c) Efisiensi; pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan rakyat.

Untuk itu pemberian kewenangan kepada Daerah untuk mengurus suatu urusan pemerintahan janganlah sampai menciptakan in-efiensi atau high cost economy. Untuk mencapai efisiensi maka diperlukan skala ekonomi (econimies of scale) dalam pelaksanaannya. Pencapaian skala ekonomi terkait dengan luasan cakupan wilayah
(catchment area) dimana urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan.

Untuk mencapai skala ekonomi tersebut, maka perlu dilakukan kerjasama antar daerah untuk optimalisasi pembiayaan dari penyelenggaraan urusan tersebut.
Dalam penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan tersebut terdapat adanya inter-koneksi dan inter-dependensi karena keterkaitan dari urusan pemerintahan tersebut sebagai suatu "system". Urusan yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan berjalan optimal apabila tidak terkait (inter¬koneksi) dengan Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Demikian juga sebaliknya. Untuk itu maka diperlukan adanya koordinasi untuk menciptakan sinerji dalam melaksanakan kewenangan mengelola urusan-urusan tersebut. Namun demikian setiap tingkatan pemerintahan mempunyai kewenangan penuh (independensi) untuk mengelola urusan pemerintahan yang menjadi domain kewenangannya. Sebagai ilustrasi; jalan negara yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan optimal apabila tidak terkait dengan jalan Provinsi yang menjadi kewenangan Provinsi menggelolanya. Jalan Provinsi juga tidak akan optimal apabila t:dak terkait dengan jalan Kabupaten/Kota. Secara keseluruhan jaringan jalan tersebut merupakan suatu "sistem jalan" yang didukung oleh sub sistem jalan Negara, Plan Provinsi clan jalan Kabupaten/Kota. Setiap tingkatan pemerintahan tersebut mempunyai kewenangan penuh (independent) untuk mengelola " jalan" yang menjadi domain kewenangannya. Namun dalam menjalankan kewenangannya masing-¬masing, harus ada koordinasi diantara ketiga tingkatan pemerintahan tersebut, agar jalan sebagai suatu sistem dapat berfungsi secara optimal.

Hubungan kewenangan antara daerah otonom Provinsi dengan daerah otonom
Kabupaten/Kota tidaklah hirarkhis. Provinsi mempunyai kewenangan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang bersifat antar Kabupaten/Kota (regional) yang berdampak regional. Sedangkan Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan menangani urusan-urusan pemerintahan yang berskala lokal yang dampaknya lokal. Keterkaitan antara kewenangan dan dampak adalah untuk menjamin akuntabilitas dari penyelenggaraan otonomi daerah tersebut. Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota akan bertanggung jawab atas urusan¬-urusan pemerintahan yang berdampak lokal. Pemerintah Daerah Provinsi akan bertanggung jawab atas urusan-urusan pemerintahan yang berdampak regional.

Pemerintah Pusat bertanggung jawab secara nasional untuk menjamin agar otonomi daerah dapat berjalan secara optimal. Konsekwensinya Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawasi, memonitor, mengevaluasi dan memberdayakan Daerah agar mampu menjalankan otonominya secara efektip, efisien, ekonomis dan akuntabel. Untuk supervisi dan fasilitasi terhadap pelaksanaan otonomi di tingkat Provinsi dilakukan langsung oleh Pemerintah. Sedangkan untuk melakukan kegiatan supervise dan fasilitasi terhadap pelaksanaan otonomi di tingkat Kabupaten/Kota, mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas, tidak akan efektip dan efisien kalau dilakukan langsung oleh Pemerintah. Untuk itu Pemerintah berdasarkan prinsip "dekonsentrasi" menugaskan Gubernur selaku wakil Pemerintah di Daerah untuk melakukan kegiatan supervise dan fasilitasi tersebut.

Adalah sulit bagi Gubernur secara pribadi untuk melakukan tugas supervisi dan fasilitasi tersebut. Untuk itu seyogyanya Gubernur memerlukan adanya perangkat dekonsentrasi untuk membantu pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya selaku wakil Pusat di daerah. Untuk mencegah salah persepsi bahwa tujuannya bukan untuk menghidupkan Kanwil dimasa lalu, maka perangkat tersebut lebih optimal berbentuk jabatan fungsional yang bertugas membantu Gubernur secara sektoral ataupun limas sektor yang serumpun seperti ahli kesehatan, ahli pendidikan, ahli kehutanan, ahli keuangan dsb sesuai dengan "magnitude" pembinaan dan pengawasan yang diperlukan oleh Gubernur sebagai wakil Pusat di daerah. Perangkat dekonsentrasi tersebut sifatnya membantu kelancaran tugas Gubernur untuk melakukan supervisi dan fasilitasi terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di wilayahnya dalam melaksanakan otonominya. Pembiayaan dari Gubernur dan perangkat dekonsentrasi yang membantunya dibebankan kepada Pemerintah Pusat melalui APBN.

PENUTUP

Demikianlah pokok-pokok pengaturan yang melandasi pengaturan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU 32/2004. Persoalan mendasar yang perlu diperhatikan adalah bagaimana melakukan sosialisasi secara efektip kepada seluruh stake-holders otonomi daerah yaitu; instansi-instansi di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan masyarakat pada umumnya. Seluruh elemen bangsa akan terkena dampak dari otonomi daerah. Otonomi daerah mengatur manusia sejak lahir (akte kelahiran) sampai mati (akte kematian). Untuk itu maka harus terbentuk pemahaman yang sama tentang otonomi daerah tersebut.
Persoalan kedua adalah bagaimana seluruh stake-holders tersebut mau dan mampu mengawal otonomi daerah agar berjalan sesuai dengan koridor yang ditentukan dalam UU 32/2004. Untuk itu supervisi dan fasilitasi dari Pusat menjadi sangat signifikan untuk mengawal pelaksanaan UU 32/2004 tersebut. Langkah terakhir adalah bagaimana melakukan evaluasi secara obyektif terhadap UU 32/2004. Sebagai suatu hash kebijakan publik (public policy) sudah tentu kebijakan tersebut harus sesuai dengan dinamika perubahan masyarakat.

(Sumber : Jurnal Ilmu Pemerintahan/Penulis DR. I Made Suwandi)

Minggu, 19 Oktober 2008

Parlementer atau Presidensial

Pengantar
Kehidupan ketatanegaraan Indonesia masih memiliki banyak ke kurangan dan bahkan tumpang tindih antara sistem presidensial dan parlementer. Ketidakjelasan penyelenggaraan negara itu mem butuhkan sikap kenegarawanan dari pimpinan lembaga negara untuk mengimplementasikan amanat konstitusi secara benar. Wartawan SP Yuniawan W Nugroho menguraikan dalam tulisan berikut.
Teks Proklamasi pada peringatan HUT ke-62 Republik Indonesia, di Istana Merdeka, Jumat, 17 Agustus 2007 dibacakan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita.
Seusai peringatan Detik-detik Proklamasi, salah seorang anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ferry Mursyidan Baldan dengan nada bercanda mengatakan, "Seharusnya tadi jangan menyebut 'atas nama rakyat Indonesia' tetapi 'atas nama daerah di Indonesia' karena yang membacakan bukan ketua DPR tetapi ketua DPD".
Bagi yang tidak bercanda malah mempertanyakan pembacaan Teks Proklamasi yang begitu penting justru bisa bergantian setiap tahun. Memang, tahun lalu Teks Proklamasi dibacakan Ketua DPR Agung Laksono dan sempat memunculkan sedikit perdebatan ketika Agung membacanya, "Hari 17 bulan 8 tahun 05", sesuai teks asli yang diketik Sayuti Melik. Tahun 2005, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang membacakannya.
Sejak Indonesia memasuki masa reformasi dan segala krisis yang menyertainya, terasa ada kegamangan dalam penyelenggaraan negara. Bukan saja soal siapa yang membacakan Teks Proklamasi di peringatan Detik-detik Proklamasi karena itu hanyalah satu dari sekian fakta kegamangan.
Ketika tidak ada lagi lembaga tertinggi negara, misalnya, banyak di antara kita masih menyebut lembaga tinggi negara, tanpa tahu apa saja dan harus bagaimana dengan lembaga tinggi negara tersebut. Apa bedanya dengan lembaga yang tidak tinggi dan seterusnya.
Padahal tidak ada yang disebut lembaga tinggi negara. Semuanya adalah lembaga negara dan jumlahnya ada delapan. Lembaga negara itu adalah Kepresidenan, MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini pun masih menimbulkan kontroversi, apakah Komisi Yudisial juga disebut lembaga negara atau menjadi bagian dari MA?
Begitu juga MPR yang masihkah perlu ada pimpinan secara permanen, padahal pekerjaannya nyaris tidak ada, kecuali kalau mau menganggap sosialisasi UUD 1945 yang diamendemen adalah tugas MPR. Semuanya memperlihatkan kegamangan, terutama pascaamendemen UUD 1945 yang sudah empat kali dilakukan.
Tidak Konsisten
Kalau mau jujur, kegamangan itu terus berlangsung sampai hari ini, termasuk dan terutama dalam hal menerapkannya dalam sistem presidensial yang dianut. Kesalahan mendasarnya adalah, sistem yang dibangun tidak selalu konsisten dengan yang dianut. Salah satu penyebabnya adalah adopsi, jiplak, comot sana sini dan membangun secara tambal sulam sistem ketatanegaraan.
Tidak ada misalnya, dalam sistem presidensial, seorang presiden menetapkan menteri yang notabene adalah pembantunya dengan meminta persetujuan partai-partai politik, kecuali Indonesia. Tidak ada negara penganut sistem presidensial yang parpolnya mencapai hitungan puluhan. Demikian juga tidak ada di sistem presidensial yang presidennya sering "deg-degan" lantaran khawatir dijatuhkan parlemen, karena berbagai sebab, kecuali di sini.
Indonesia memang terasa seperti perkecualian dalam menerapkan sistem presidensial. Tidak heran mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sering melontarkan guyonan Indonesia negara yang bukan-bukan. Komunis bukan, kapitalis bukan, negara sekuler bukan, negara agama juga bukan. "Ya negara yang bukan-bukan dong kalau begitu," canda Gus Dur.
Namun kalau melihat praktik bernegaranya, tentu saja tidak sedikit yang bingung, terutama pasca reformasi. Mana ada negara yang Komisi Yudisial-nya termasuk lembaga negara, sejajar dengan lembaga kepresidenan, MPR, DPR, DPD, BPK. Walau terkait Komisi Yudisial ini boleh dibilang "kecelakaan" ketika amendemen dilakukan.
Harus Dipahami
Menurut pandangan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Baharuddin Aritonang, yang banyak mengamati masalah-masalah konstitusi, satu hal yang harus dipahami dalam sistem presidensial adalah, presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. "Presiden adalah koordinator dan juga sekaligus inspirator dalam membangun hubungan lembaga negara," kata kandidat doktor bidang hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada itu.
Disebutkannya, terlepas dari kontroversinya, negara ini terlihat benar-benar menganut sistem presidensial ketika Soeharto memerintah.
"Sayangnya, dia itu terlalu lama dan tidak lagi dikontrol oleh DPR. Lembaga negara lain, termasuk lembaga tertinggi negara waktu itu juga tidak mampu mengontrol, di situ kelirunya," katanya.
Namun praktik penyelenggaraan bernegara sudah benar. Mestinya, saat ini, model seperti itu dilakukan, tetapi dengan mendorong DPR yang adalah representasi rakyat melakukan kontrol. Pentingnya checks and balances dalam sistem presidensial dimotori presiden dan dengan dukungan lembaga negara yang lain.
Aritonang mencontohkan kasus MA sebagai lembaga negara yang beberapa waktu lalu diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal itu, seharusnya Presiden Yudhoyono "turun tangan" dan bahkan melakukan intervensi. Bukan dalam arti mem-back up dugaan korupsi yang dilakukan personel di MA, namun lebih bagaimana membuat aturan main atau menciptakan format memeriksa suatu lembaga negara.
Contoh lain adalah pidato kenegaraan yang dilakukan presiden setiap 16 Agustus di depan sidang paripurna DPR. Seharusnya tidak perlu ada sidang serupa yang dilakukan DPD (dijadwalkan berlangsung pada 23 Agustus 2007). "Presiden bisa saja mengajak DPR dan DPD bicara, karena dia juga kepala negara, dan cukup dilakukan satu kali sidang paripurna, misalnya joint session," kata Aritonang.
Diakui, ada juga semacam kekhawatiran kalau format itu dilakukan kemudian diasumsikan sebagai sidang MPR. "Nah di sinilah diperlukan kepiawaian seorang presiden bagaimana menciptakan format dan formula tanpa khawatir dianggap melanggar konstitusi. Saya kira konstitusi kita ini kan harus diterjemahkan dalam praktik penyelenggaraan bernegara," kata Aritonang.
Pendulum Belum Pas
Tentang pentingnya kontrol dalam hal penyelenggaraan negara, terutama oleh DPR terhadap eksekutif (lembaga kepresidenan), dalam sistem presidensial sebenarnya juga sudah jelas. DPR adalah lembaga kontrol dan seharusnya seorang presiden tidak perlu khawatir ketika dikontrol DPR. Repotnya di negeri ini, baik yang dikontrol maupun yang mengontrol kadang-kadang sulit memisahkan antara persoalan pribadi dan persoalan publik atau kelembagaan.
Yang sering muncul adalah yang dikritik merasa kontrol tersebut bertujuan politik dan mengarah pada pribadi, sementara yang mengontrol merasa paling benar. Hal itu pula sebenarnya yang membuat kita sekian lama merasakan benar executive heavy dan sejak reformasi, kurang lebih 10 tahun lalu, pendulum berpindah menjadi legislative heavy.
Sulit sekali rasanya menyeimbangkan pendulum itu ke "arah" yang pas, sesuai sistem yang kita anut. Bukan berarti dalam sistem presidensial DPR harus lemah atau sebaliknya presiden harus kuat, apalagi dominan. Sampai hari ini, terasa benar, pendulum belum seimbang dan masih berat ke legislative heavy, sementara negeri ini bukan penganut sistem parlementer. Kalau pun kepala negara yang sekaligus kepala pemerintahan terlihat "kuat", itu tidak lebih hanya terasa ketika presiden (dan juga wapres) di mana pun berada selalu dalam pengawalan ketat.
Selebihnya, setiap lembaga negara yang ada di negeri ini berjalan sendiri-sendiri, bahkan boleh dikata tak tentu arah. Ironisnya, semua mengatasnamakan rakyat. Kalau pun para lembaga negara itu bertemu dan terlihat bekerja sama, urusannya seringkali hanya "UUD" alias ujung-ujungnya duit. Bukan mengatasi persoalan yang tengah dihadapi rakyatnya.
Contoh jelas soal ini bisa kita lihat dari rencana rapat konsultasi Presiden dan DPR akan digelar Rabu, 22 Agustus 2007, lusa. Rapat ini akan membicarakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan beberapa pasal dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal tentang pilkada. Apakah ini untuk kepentingan rakyat atau sebenarnya hanya kepentingan parpol?
Sejak awal munculnya keputusan MK tersebut kalangan DPR dan terutama partai politik (parpol) gerah dan marah. Ada semacam kekhawatiran dan keterancaman dibolehkannya calon independen maju dalam pilkada tanpa melalui parpol.
Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalatta di beberapa kesempatan di Kantor Presiden ketika ditanya soal ini, pada pokoknya menyatakan,
"Kalau mau cari pekerjaan atau cari makan, jangan ikut pilkada." Maksudnya, calon independen tanpa lewat parpol, ditengarai sebagai ajang seseorang yang sebenarnya menganggur dan melamar kerja. Ada semacam sinisme di situ, ketika Andi Mattalatta melontarkan pernyataan tersebut. Mungkin Andi yang mantan Ketua Fraksi Partai Golkar DPR lupa, selama ini parpol bahkan seringkali menjadi "PT Pilkada Jaya" ketika mengusung seorang calon, baik dari internal parpol maupun orang luar nonparpol. Parpol sebagai kendaraan tidak pernah diperoleh secara gratis dan sama sekali tanpa jaminan "uang kembali" sama sekali, dan semua orang sudah tahu soal itu.
Inti dari semua itu adalah, betapa kita masih menjadikan lembaga negara sebagai "kendaraan" untuk kepentingan pribadi. Pribadi itu bisa berupa kelompok, parpol, atau golongan. Padahal lembaga negara dibentuk untuk kepentingan pemerintah dan negara ini secara umum. Tapi kita sering memperlakukannya sebagai warisan orangtua kita sendiri.
Tidak mudah membenahi semua ini walau upaya itu sudah ada. Presiden Yudhoyono ketika berpidato dalam peresmian gedung MK, Senin pekan lalu mengakui masih adanya kekurangan di sana-sini dalam kehidupan ketatanegaraan.
Konkretnya, hubungan di antara lembaga negara masih harus dibenahi agar makin sesuai dengan cita-cita nasional (sistem presidensial, tentunya) dan amanat konstitusi.
Sudah saatnya bangsa Indonesia berusaha untuk tidak setengah hati dalam menerapkan suatu prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini, guna kemakmuran dan kesejahteraan bersama..
(Sumber: Suara Pembaharuan, 20/08/07)

ILMU PEMERINTAHAN DI INDONESIA

A. Latar Belakang

Bertolak dari pemikiran Bayu Surianingrat yang mengemukakan disiplin ilmu yang tertua adalah ilmu pemerintahan karena sudah dipelajari sejak sebelum masehi oleh para filosof. Dewasa ini, ilmu pemerintahan berjuang keras untuk menjadi ilmu yang mandiri. Untuk memahami makna dari sebuah teori dan definisi ilmu, hendaknya memperhatikan latar belakang lahirnya teori dan defenisi ilmu tersebut secara filosofis, waktu, situasi kondisi dan latar belakang keilmuwan yang melahirkan teori / defenisi tersebut.
Latar belakang pemikiran ini dipengaruhi oleh ruang, waktu, tempat, variasi situasi kondisi dan juga latar belakang bidang studi ( pendidikan ) ilmuwan. Sebelum kita terlalu jauh membahas masalah metode pendekatan historis dalam mencari, menemukan, mengembangkan dan atau menerapkan / mengaplikasikan ilmu pemerintahan, terlebih dahulu kita singgung hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian dan metode ilmu.

B. Pengertian - Pengertian

Ilmu pemerintahan yang kita bahas saat ini, bisa dikategorikan ilmu yang masih baru, atau meminjam pendapat Soewargono ( 1995 : 1 ), ilmu pemerintahan masih sering dipandang sebagai ilmu yang kurang jelas sosoknya. Pemerintahan dalam bahasa inggeris disebut government yang berasal dari bahasa latin gobernare, greek kybernan yang berarti mengemudikan, atau mengendalikan.
Meriam memandang tujuan pemerintah meliputi external security, internal order, justice, general welfare dan fredom. Tidak berbeda jauh dengan S.E. Finer yang melihat pemerintah mempunyai kegiatan terus-menerus ( process ), wilayah negara tempat kegiatan itu berlangsung ( state ), pejabat yang memerintah ( the duty ), dan cara, metode serta sistem ( manner, method, and system ) dari pemerintah terhadap masyarakatnya. Agak berbeda dengan R. Mac Iver, memandang pemerintah dari sudut disiplin ilmu politik, “ government is the organizationof men under authority… how men can be governed “. Maksudnya pemerintahan itu adalah sebagai organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan… bagaimana manusia itu bisa diperintah (R. Mac Iver, The Web of Government, The Mac Milan Compony Ltd New York, 1947 ). Jadi bagi Mac Iver, ilmu pemerintahan adalah sebuah ilmu tentang bagaimana manusia-manusia dapat diperintah ( a science of haw men are governed ).
Guna memahami lebih konkritnya jati diri pemerintahan dari peristiwa maupun aktivitas kegiatan pemerintahan dari perspektif ilmu pemerintahan dengan analisa multidisiplin pendekatan historis, ada lebih baik bila kita menyinggung sedikit peristiwa dan gejala-gejala pemerintahan dari sudut pandang pengertian negara dari para ahli yang berbeda latar belakang keilmuwan.
Sumantri ( Inu, 2001 : 97 ) memndang negara dari segi filsafat ilmu sebagai suatu organisasi kekuasaan. Karena itu, dalam orgnisasi negara selalu kita jumpai organ / alat perlengkapan yang mempunyai kemampuan untuk memaksa kehendak pada siapa saja di dalam wilayah kekuasaaannya. Ahli hukum Hugo de Groot memndang negara merupakan suatu persekutuan sempurna dari orang-orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum. Sedangkan dari keilmuwan sosiologi, memandang negara adalah suatu masyarakat yang monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah ( Max Weber dalam Inu, 2001 : 99).
Sedangkan Ndraha ( 2000 : 7 ) yang secara basic keilmuwan berlatar belakang disiplin ilmu administrasi negara dan ilmu pemerintahan mendefenisikan ilmu pemerintahan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana pemerintah ( unit kerja publik ) bekerja memnuhi dan melindungi tuntutan ( harapan, kebutuhan ) yang diperintah akan jasa publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan.

C. METODOLOGI PENDEKATAN : PENDEKATAN HISTORIS

Dari beberapa teori diatas sebagai acuan pendekatan historis yang akan dipakai guna mengkaji jati diri ilmu pemerintahan secara filsafat dari segi gejala dan peristiwa pemerintahan, maka ontologi ( hakikat apa yang dikaji ) dari ilmu pemerintahan secara obyek materi adalah negara sedangkan obyek fomanya adalah hubungan pemerintah dengan publik dalam kaitan kewenangan dan pelayanan. Secara epistemologi ( bagaimana caranya memperoleh yang dikaji (penegetahuan/ilmu) secara benar ) berkaitan dengan metodologi ilmu pemerintahan dan ciri khas ilmu pemerintahan. Sedangkan secara aksiologi ( mengapa dan untuk apa guna yang dikaji (pengetahuan/ilmu) bagi kehidupan manusia.
Landasan metodologi penelitian maupun metodologi ilmu adalah filsafat ilmu, logi disini bukan berarti ilmu tetapi kajian atau pelajaran tentang metode yang digunakan dalam mencari, mengembangkan, mempelajari dan memanfaatkan ilmu. Penelitian adalah suatu upaya yang bermaksud mencari jawaban yang benar terhadap suatu realita yang dipikirkan ( dipermasalahkan ) dengan menggunakan metode tertentu atau cara berpikir dan teknik tertentu menurut prosedur sistimatis, bertujuan menemukan, mengembangkan dan atau menerapkan pengetahuan, ilmu dan teknologi, yang berguna baik sebagai aspek keilmuwan maupun aspek guna laksana ( praktis ). Oleh sebab itu metodologi penelitian dapat diterjemahkan sebagai cara berpikir dan melaksanakan hasil berpikir ( teknik ) untuk melakukan suatu penelitian secara lebih baik dalam mencapai tujuannya ( efektif ).
Untuk memperjelas sasaran dalam konsep ini, perlu juga kita perhatikan defenisi-defenisi ilmu dari beberapa ahli, untuk memperjelas makna dan apa yang dapat dikatakan ilmu. Sondang Siagian mendefenisikan ilmu sebagai suatu obyek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil, runus yang melalui percobaan yang sistimatis dilakukan berulang kali telah teruji kebenarannya, prinsip-prinsip, dalil-dalil dan rumus-rumus mana dapat diajarkan dan dipelajari.
Secara umum, ilmu adalah akumulasi penegetahuan yang disusun secara sistematis dengan menggunakan metode-metode tertentu, sedemikian rupa sehingga dapat merupakan gambaran, penjelasan dan peramalan mengenai realita sampai pada teknik-teknik mengatasi kejadian-kejadian yang tidak diharapkan, baik yang bersifat spesifik, konkrit dan locus, maupun yang bersifat general, abstrak dan universal (Rusidi, 2001 : 10 ). Sehingga dapat disimpulkan, ilmu memiliki obyek materi ( locus ), dan obyek formal ( focus ) dengan ciri-ciri : mempunyai obyek tertentu, bersifat empiris, memiliki metode tertentu, sistematis, dapat ditransformasikan, bersifat universal dan bebas nilai (Wasistiono, 2002 : 1).
Merujuk pada defenisi ilmu, metodologi suatu ilmu secara formal enbeded dan secara substantif ditunjukkan oleh aksioma, anggapan dasar, pendekatan, model analisis dan konstruk pengalaman dan konsep ( Ndraha, 1997 : 25 ). Secara abstrak metodologi ilmu merupakan cara berpikir dan melaksanakan hasil berfikir ( teknik ) secara formal enbeded dan secara substantif ditunjukkan oleh aksioma, , anggapan dasar, pendekatan, model analisis dan konstruk pengalaman serta konsep yang terakumulasi dari pengetahuan yang tersusun sistematis dengan menggunakan metode-metode tertentu, baik bersifat spesifik, konkrit dan locus, maupun bersifat general, abstrak dan universal yang bertujuan mencari, mengembangkan, mempelajari dan memanfaatkan ilmu.
Dengan meminjam alat metodologi sebagai syarat keilmiahan dalam mengkaji dan mencari jati diri ilmu pemerintahan, metodologi penelitian dan metodologi ilmu menjadi pendukung wajib dalam menganalisis gejala dan peristiwa / kejadian berpemerintahan dengan pendekatan historis serta sistimatika penulisan yang memperhatikan kaidah ilmiah. Pendekatan historis merupakan pendekatan yang menganalisa peristiwa / gejala / aktivitas kegiatan pemerintahan melalui alat analisis sejarah perkembangan pemerrintahan dan aturan / hukum yang menjadi dasar laksana dan hukum aktivitas berpemerintahan yang sah.

D. TEORI DAN ANALISA
Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana melaksanakan pengurusan ( eksekutif ), pengaturan ( legislatif ), kepemimpinan dan koordinasi pemerintahan ( baik pusat dengan daerah maupun antara rakyat dengan pemerintahnya ) dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan secara baik dan benar, (Inu, 2001:47)
Dari defenisi dan teori-teori di atas dapat disimpulkan, gejala -gejala, peristiwa dan kondii suatu lembaga pemerintahan yang menjadi ontologi ilmu pemerintahan, meliputi :
1. Hubungan pemerintah
2. yang diperintah
3. Tuntutan yang diperintah ( jasa publik layanan civil )
4. Pemerintah
5. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah
6. Pemerintah yang dipandang mampu memenuhi kewajiban dan tanggung jawab tersebut
7. Bagaimana membentukpemerintah yang sedemikian itu
8. Bagaimana pemerintah menunaikan kewajiban dan memenuhi tanggung jawabnya
9. Bagaimana supaya kinerja pemerintah sesuai dengan tuntutan yang diperintah.

Wasistiono ( 2002 : 5 ) melihat ilmu pemerintahan merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara rakyat dengan organisasi tertinggi negara ( pemerintah ) dalam konteks kewenangan dan memberi pelayanan. Meminjam pemikiran Ndraha, dengan melihat gejala-gejala sosial senantiasa terdapat dalam sebuah masyarakat, jika seorang atau suatu kelompok kita jadikan variabel X dan orang atau kelompok lain kita jadikan variabel Y. Jika X disebut pemerintah ( P ) dan Y yang dipenrintah ( YD ), maka hubungan antara P dan YD telah terjadi suatu kegiatan yang disebut pemerintahan atau peristiwa, gejala-gejala pemerintahan. Pengkajian terhadap peristiwa atau gejala-gejala pemerintahan yang terjadi baik sekali lalu maupun berulang telah menjadi sumber bahan konstruksi ilmu pemerintahan.
Dilihat dari konsentrasi administrasi publik atau administrasi pemerintahan yang meliputi kebijakan publik pemerintahan, institusi / kelembagaan / organisasi pemerintahan, birokrasi, manajemen pemerintahan, personil dan keuangan ( anggaran ) pemerintahan, lingkungan administrasi pemerintahan dan segala aktivitas pemerintahan dilandasi oleh adanya bentuk legalitas dari pemerintahan yang berkuasa. Jika perubahan mendasar terjadi pada konsentrasi tersebut yang memfokus pada perubahan sitem, ditandai dengan terjadinya perubahan yang mendasar pada alat gerak pemerintahan itu sendiri ( konstitusi ). Hal ini dapat dilihat dari sistem berpemerintahan di Indonesia mulai dari pasca kemerdekaan, orde lama, orde baru dan pasca reformasi. Sehingga Robertson menilai konstitusi adalah bentuk “ power maps is a of rights, powers, and procedure regulatng the structure with telationships among for the public authorities and between the public authorities and the citizens “.
Secara konkrit aksiologi ilmu pemerintahan dilihat pada peran pemerintahan melalui sudut pandang pendekatan historis meliputi berbagai sejarah peristiwa / kejadian dimana pemerintah menerapkan keadilan, menyelengarakan demokrasi, menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan desentralisasi, mengatur perekonomian, menjaga persatuan, memelihara lingkungan, melindungi HAM, meningkatkan kemampuan masyarakat, meningkatkan moral masyarakat yang dilandasi berbagai aturan yang mengikutinya baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat pemerintah (negara ).
Lahir menjelang pecahnya PD II, konsep Ilmu Pemerintahan terapan pertama kali dirintis oleh G. A. Van Poelje dengan nama “ Bestuurskunde “, negeri Paman Sam menyebutnya Public Administration, namun saat ini administrasi publik diartikan sebagai ilmu administrasi publik. Keberhasilan Van Poelje membebaskan studi tentang susunan dan berfungsinya pemerintah dari tradisi yuridis dengan menggunakan wawasan ilmu penegetahuan sosial, kini terperangkap kembali dalam artian masih ada yang menilai ilmu pemerintahan bagian dari ilmu sosial lainnya seperti ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi dan lainnya.

Secara ciri khas ilmu pemerintahan, dapat ditarik epistimologi dalam gejala pemerintahan meliputi kekuasaan yang sah ( kewenangan ), menampung, menyelesaikan kepentingan orang banyak / masyarakat luas sekaligus dengan pembinaannya, pelayanan kepada masyarakat yang kesemuanya itu dilandasi juga secara operasionalnya ( praktek ) oleh pendekatan historis.
Luasnya dimensi kajian ilmu pemerintahan tidak terlepas dari ruang lingkup permasalahan dan gejala-gejala berpemerintahan. Upaya-upaya pembuktian dan penggalian guna kemandirian ilmu pemerintahan melalui pendekatan disiplin ilmu lainnya yang bersifat multidisiplin maupun interdisiplin ilmu terus dilakukan. Salah satu pendekatan yang dilakukan sesui dengan metode ilmu adalah pendekatan historis.
Diwadahi ilmu hukum dengan perkembangn madzab hukum yang mendominasi suasana pemerintahan di Eropa Barat selama dua abad, mengakibatkan sejarah studi gejala-gejala pemerintahan dipandang sebagai bagian dari studi ilmu hukum. Permasalahan pemerintahan dipandang dan akan dapat diatasi dengan penerapan paraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut dengan tepat dan benar. Sehingga timbul peranggapan bahwa studi gejala pemerintahan merupakan bagian dari ilmu hukum. A. Van Braam sendiri ( Soewargono, 1995 : 2 ) mengemukakan ilmu pemerintahan sebagian besar masih mewqujudkan diri dalam bentuk himpunan studi gejala-gejala pemerintahan yang dihasilkan studi dari ilmu hukum ( dikategorikan sebagai “ juridische bestuurkunde” ). Memang sejarah ilmu pemerintahan tidak dapat dipisahkan dari peraturan / hukum yang menyertainya.
Semakin luas lingkup aktivitas pemerintahan dan kompleksnya gejala-gejala pemerintahan, pakar ilmu pemerintahan dapat merasakan berbagai jenis “ ilmu pemerintahan “ yang bersifat monodisiplinair, misalnya studi ilmu hukum yang hanya mampu memberikan pandangan sepihak dalam melihat gejala-gejala dan berfungsinya suatu pemerintah dan tidak mampu menjelaskan secara integral.
H. J. Logemen ( Saparin, 1986 : 22 ) memandang aktivitas pemerintahan dari sudut pandang hukum tata pemerintahan “ merupakan keseluruhan pranata hukum yang digunakan sebagai landasan untuk menjalankan kegiatan pemerintahan dalam arti khusus ialah pemerintahan dalam negeri dan juga dapat disebut sebagai “ bestuursrecht “ atau hukum tata negara dalam arti sempit “. Sementara fungsi pemerintahan umum ( algemeen bestuur / administrasi publik ) disamping memiliki kewenangan juga mengatur, melayani, memelihara, membina, melindungi kepentingan umum dan warga masyarakatnya melalui pembuatan dan penegakan aturan.
Hal ini terlihat jelas di dalam setiap aktivitas pemerintahan yang selalu berhubungan dan didasari aturan menuju lahirnya hukum atau konstitusi, atau dengan kata lain di dalam tubuh ilmu pemerintahan menjelma pada aktivitas, gejala dan peristiwa pemerintahan terkandung ( lihat Ndraha, 2000 : 1-20 ).
Jadi dari analisis di atas terlihat jelas jika anggapan awal selama ini bahwa ilmu pemerintahan bagian dari studi ilmu lainnya khususnya ilmu hukum tidaklah benar, hal ini sperti diungkapkan Surianingrat “ disiplin ilmu yang tertua adalah ilmu pemerintahan “ dikarenakan keterlambatannya dalam menemukan, membuktikan, menerapkan, mengembangkan, dan memanfaatkan untuk menciptakan jati diri ilmu yang mandiri, dan sekarang ini ilmu pemerintahan telah menemukan jati dirinya.

E. PENUTUP DAN REKOMENDASI

Melalui analisa di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu pemerintahan bukanlah bagian dari suatu disiplin ilmu hukum, politik, administrasi publik maupun ilmu ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari telaahan di atas terhadap gejala-gejala dan peristiwa pemerintahan melalui pendekatan histori. Sehingga dapat diketahui baik secara teoritis / defenisi ilmu pemerintahan melalui aspek guna laksana ( praktis ) dari masalah-masalah kehidupan publik ( masyarakat, organisasi non pemerintah, wiraswasta dan umum ) dengan pemerintah maupun pemerintah dengan pemerintah mengandung peristiwa pemerintahan dan ilmu pemrintahan dari suduit kajian ilmu / studi lainnya.
Dalam menelaah ilmu pemerintahan dilihat dari pendekatan historis tidak dapat dipisahkan dari aspek peraturan / hukum yang mengatur tata laksana pemerintahan. Dimana sejarah pemerintahan dijalankan sesuai dengan peraturan / hukum yang telah ditetapkan baik tertulis maupun tidak tertulis.
Diharapkan melalui penuangan konsep ini ke dalam bentuk tulisan makalah dapat diketahui jelas keberaan jati diri ilmu pemerintahan dan sejarah perkembangan ilmu pemerintahan hingga menjadi ilmu yang mandiri sehingga dapat menjadi perenungan dan pemikiran agar senantiasa terus dikaji dan dikembangkan lebih jauh lagi dan ilmu pemerintahan benar-benar pada bentuk / jati diri ilmu pemerintahan yang konkrit, general dan universal.

Daftar Pustaka:
Inu, Kencana Syafiie, 2001, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Refika Aditama, Bandung
Inu, Kencana Syafiie, 2001, Filsafat Pemerintahan, Perca, Jakarta
Ndraha, Taliziduhu, 1997, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Rineka Cipta, Jakarta
Ndraha, Taliziduhu, 2000, Diktat Kuliah Ilmu Pemerintahan, Program Pasca Sarjana UNPAD, Bandung
Rusidi, 2001, Diktat Kuliah Metodologi Penelitian, Program Pasca Sarjana UNPAD, bandung
Rasyid, M. Ryaas, 1997, Makna Pemerintahan, Yasrif Watampone, Jakarta
Soewargono, 1995, Jati Diri Ilmu Pemerintahan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada IIP, Jakarta
Suriasumantri, Jujun. S, 1996, Filsafat Ilmu (sebuah pengantar populer), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Wasistiono, Sadu, 2002, Diktat Kuliah Metodologi Ilmu Pemerintahan, Program Pasca Sarjana MAPD STPDN, Jatinangor

Jumat, 17 Oktober 2008

TRANSFORMASI KELEMBAGAAN PEMERINTAH DAERAH

Untuk merefleksikan bagaimana transformasi organisasi di lingkungan Pemerintah Daerah saat ini (baik saat berpedoman pada PP No. 84 tahun 2000, dilanjutkan dengan PP No. 8 Tahun 2004, maupun aturan yang baru PP No. 41 Tahun 2007), maka dapat digambarkan secara teoritis pembentukan lembaga-lembaga Perangkat Daerah yang ada kurang mengedepankan pertimbangan-pertimbangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Daerah sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, alasannya; lembaga-lembaga tersebut seyogyanya dibentuk setelah didahului oleh Perda tentang Pembagian Urusan Pemerintahan dan atau Perda tentang Rencana Strategis Daerah yang merupakan “ cornestone “ bagi Peraturan Daerah lainnya yang sifatnya lebih operasional (Sadu Wasistiono mengintrodusir kategori “ Perda Induk ” dan “ Perda Inti “ debateable untuk membedakan beberapa Perda dari segi ruang lingkup kebijakan yang diatur di dalamnya). Hal yang lebih ironis lagi, dalam setiap Perda tentang Kelembagaan Daerah tersebut pada intinya dibuat secara instan dengan mengadopsi sepenuhnya apa yang tertulis dalam PP No. 41 Tahun 2007, tanpa lebih jauh melihat urgensi dan kondisi riil daerah dalam pembentukan suatu unit organisasi
pemerintahan daerah.

Permasalahan yang ada bukan baru pertama kali terjadi, namun karena kurang dicermati dan pada akhirnya dianggap suatu yang lumrah. Konsekuensi lebih jauh dari gejala ini adalah timbulnya formalisme yang disebutkan oleh Riggs sebagai gejala umum Negara Dunia Ketiga, artinya; asal sudah dituangkan dalam bentuk peraturan, semuanya dianggap beres tanpa memperhitungkan lagi urgensi, substansi, apalagi suasana batin perlu tidaknya aturan tersebut.

Dengan kondisi seperti yang diuraikan di atas, sangatlah logis jika kondisi kelembagaan Pemerintah Daerah saat ini lebih digerakkan oleh peraturan ketimbang oleh misi (belum mission-driven sebagaimana dianjurkan Osborne dan Gaebler). Dengan demikian, aspek kebijakan masih saja belum menyentuh seluruh kepentingan masyarakat, desain organisasi lebih mengedepankan akomodasi kepentingan elit lokal ketimbang peningkatan pelayanan publik, aspek akuntabilitas masih saja sebatas drama politik di ruang sidang DPRD, dan aspek moral serta etos kerja semakin kerdil karena tidak diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang secara wajar.

Apakah ada jalan keluarnya ? semua terpulang kepada nurani segenap Aparatur Pemerintah Daerah, seperti Descrates dengan corgito ergo sum-nya, yang menyatakan saya berpikir maka saya ada. Dengan demikian, semuanya dimulai dari pikiran, dibarengi ketekunan dan tindakan kolektif yang digerakkan oleh visi bersama. Hanya dengan jalan demikianlah akan dicapai suatu titik metanoia (shift of mind) yaitu suatu kesadaran untuk membongkar paradigma organisasi yang telah kuno menuju kesadaran baru sebagai organisasi pembelajar (learning organization) kata Peter M. Senge. Hal ini sejalan dengan pandangan Rosebeth Moss Kanter (1995) yang mengatakan siapa yang ingin bertahan dalam memasuki era global haruslah memiliki kekayaan intangible asset 3(C), yaitu; 1) concept, 2) competence, dan 3) connection atau networking.

Begitu pula halnya ungkapan dari Albert Einstein yang mengatakan “The significant problems we face can not be solved at the same level of thinking we were at when we create them.” (Masalah-masalah mendasar yang kita hadapi saat ini tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan level berpikir sebelumnya yang justru menciptakan masalah-masalah tersebut).

Semoga bacaan singkat ini dapat sedikit memberikan sedikit masukan/pemahaman kepada pemerintah daerah. Khususnya para pejabat yang berkompeten dalam proses transformasi, dan penataan Organisasi Pemerintah Daerah saat ini.
Penulis : Yulindra Dedy, S.STP, M.Si
yulindra_dedy@yahoo.com)

Rabu, 08 Oktober 2008

PEMERINTAHAN DAERAH SECARA UMUM

A. Urgensi Pemerintahan Daerah
Kehadiran pemerintahan dan keberadaan pemerintah adalah sesuatu yang urgen bagi proses kehidupan masyarakat Sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat, sekecil apa pun kelompoknya, bahkan sebagai individu sekalipun membutuhkan pelayanan pemerintah. Secara sadar ataupun tidak, harus kita akui bahwa banyak sisi kehidupan kita sehari-hari erat hubungannya dengan fungsi-fungsi pemerintah di dalamnya. Ketika kita lahir, orang tua kita mencatatkan data kelahiran ke Kantor Desa/Kelurahan atau pun Kecamatan untuk memperoleh Akta Kelahiran. Pada masa kanak-kanak, kita membutuhkan sekolah mulai TK hingga Perguruan Tinggi. maka pemerintah telah menyediakan berbagai macam fasilitas belajar. Setelah tamat sekolah kita membutuhkan pekerjaan, dalam hal ini juga pemerintah telah sedapat mungkin menyediakan lapangan pekerjaan di berbagai bidang dan sektor pemerintah. Dalam kehidupan kita sehari-hari, keamanan dan ketenteraman kita dijamin oleh pemerintah dengan berbagai sistem keamanan yang diciptakan.
Ketika kita meninggal pun, peranan pemerintah tetap ada, yakni dalam proses pemakaman sampai membuat Akta Kematian. Masih banyak lagi aktivitas kita sehari-hari yang dilayani pemerintah demi tercapainya berbagai kebutuhan dan kepentingan kita, baik secara pribadi mau-pun secara bermasyarakat.
Jika tidak ada pemerintah, maka masyarakat akan hidup dalam serba ketidakteraturan dan ketidaktertiban yang bukan tidak mungkin akan melahirkan berbagai bentuk kerusuhan dan aksi kekerasan serta tindakan kejahatan lainnya. Kehadiran pemerintah pertama-tama adalah untuk mengatur dan melindungi masyarakat warganya agar senantiasa dalam keadaan aman dan tertib. Jadi, ketika masyarakat menginginkan suatu bentuk kehidupan di luar aturan-aturan pemerintah, maka saat itulah berbagai bentuk persoalan sosial akan muncul. Sebab pada dasarnya manusia menurut Thomas Hobes adalah homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia yang lain).
Dalam hal ini para ahli pemerintahan telah menemukan fungsi utama pemerintahan yaitu fungsi pengaturan (regulation) dan fungsi pelayanan (services). Suatu negara, bagaimana pun bentuknya dan seberapa luas pun wilayahnya tidak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan secara sentral terus menerus. Keterbatasan kemampuan pemerintah menimbulkan konsekuensi logis bagi distribusi urusan-urusan pemerintahan negara kepada pemerintah daerah. Demikianlah di setiap negara di dunia, kewenangan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum didistribusikan secara sentral dan lokal seperti dikatakan Maas (1961).
Dalam suatu negara federal, hal ini semakin tampak, sebab urusan-urusan pemerintahan negara federal merupakan sejumlah urusan sisa dari pemerintahan negara-negara bagiannya. Negara-negara bagian tersebut menyelenggarakan pemerintahan secara local self government dengan sedikit urusannya yang bersifat local state government.
Dalam perkembangannya, kewenangan negara yang ada secara sentral, telah dibagi berdasarkan kegiatan di berbagai departemen. Di tingkat lokal, kewenangan dibagi berdasarkan wilayah yang ada di berbagai pemerintahan daerah di seluruh negara. Kedua sistem tersebut, saling terkait dan melengkapi, sungguhpun dalam praktek, sering tumpang tindih (over lapping) dan saling bersaing. Salah satu faktor yang telah mendorong peningkatan distribusi kewenangan pusat ke daerah ialah berkembangnya sistem komunikasi yang cepat dan langsung, transportasi yang lebih baik, meningkatnya profesionalisme, tumbuhnya asosiasi-asosiasi di samping tuntutan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, pelayanan lebih baik, dan kepemimpinan politik dan administrasi yang lebih efisien. Beberapa hal yang urgen dari keberadaan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, akan dijelaskan lebih lanjut.
Sejarah perkembangan manusia menunjukkan bahwa akibat perbedaan geografis maupun geologis, manusia di berbagai belahan bumi mengalami proses evolusi yang berbeda-beda. Orang Eskimo di kutub es, memiliki perilaku kehidupan tersendiri sesuai dengan tantangan alam yang ada, yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk budaya masyarakat sebagai identitas mereka. Persekutuan di antara mereka dengan ciri-ciri budaya dan perilaku yang sama, kemudian menjadi suatu suku yang secara otomatis berbeda dengan suku lainnya di seluruh dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai akibat hukum alam, maka manusia yang satu akan saling tergantung dengan manusia yang lain. Perbedaan kebutuhan dan kepentingan di antara mereka, menyebabkan terjadinya proses interaksi sosial yang kemudian menjadi pangkal berbagai konflik antar warga atau suku yang saling berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan yang berkaitan dengan latar belakang etnis, bahasa, budaya dan agama, di samping institusi sosial dan pertimbangan politik maupun administratif, pada umumnya merupakan indikator penting bagi perlunya mempertahankan keberadaan sebuah daerah (Maas, 1961).
Dalam aspek potensi yang dimiliki daerah, pertimbangan perlunya pemerintahan daerah memiliki alasannya sendiri. Potensi daerah yang merupakan kekayaan alam baik yang sifatnya dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui seperti minyak bumi, batu bara, timah, tembaga, nikel serta potensi pariwisata lainnya, melahirkan pertimbangan khusus bagi pemerintah pusat untuk mengatur pemerataan daerah. Hasrat ini kemudian mewajibkan pemerintah membentuk pemerintahan daerah sekaligus pemberian otonomi tertentu untuk menyelenggarakan rumah tangga daerahnya. Dalam konteks ini malah ada kecenderungan pemerintah pusat untuk mengatur pemerintahan sampai-sampai daerah kehilangan kreativitas dan inovasi. Dengan demikian sering muncul berbagai persoalan yang menempatkan pemerintah sebagai sasaran kedongkolan masyarakat daerah yang merasa telah dijadikan 'sapi perahan' oleh pemerintah. 'Ujung' otonominya telah diberikan kepada pemerintah daerah, tapi 'ekornya' masih dipegang oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak memiliki keleluasaan dalam menyelenggarakan rumah tangganya, sekaligus menggali potensi-potensi yang ada sebagai penunjang pendapatan asli daerah.
Kebutuhan untuk memanfaatkan institusi daerah disebabkan oleh adanya variasi dalam hal kepadatan penduduk, intensitas kebutuhan dan minimnya sumber daya yang tersedia pada masyarakat (Norton, 1994). Dalam dua dekade terakhir ini, misalnya, kepentingan potensil pemerintah daerah telah meningkat sejalan dengan tuntutan yang semakin besar terhadap pembangunan daerah dan peningkatan pelayanan. Di samping itu, walaupun fenomena diatas mempengaruhi semua lembaga pemerintah daerah, tuntutan bagi yang ada di wilayah perkotaan makin serius. Semakin besar hambatannya, semakin tidak dapat dihindarkan masalah kriminalitas, permukiman kumuh, persediaan air yang tidak mencukupi, fasilitas kebersihan yang terbatas, persekolahan yang tidak memuaskan, dan pengangguran. Hal ini tentunya membutuhkan penanganan yang serius dengan melibatkan unsur lembaga yang mampu mencipta- kan keteraturan. Pemerintah daerah dengan berbagai produk peraturannya dipandang urgen untuk menstabilkan suasana yang rumit ini, sebab jangkauan serta kemampuan pemerintah pusat terlalu jauh untuk menangani masalah ini. Dengan demikian, masalah keterbatasan kemampuan pemerintah pusat juga merupakan salah satu alasan urgennya pemerintahan daerah.
Perbedaan kondisi daerah, kebutuhan daerah, sumber daya daerah, aspirasi daerah dan bahkan prioritas daerah menuntut perlunya diciptakan transportasi kebijaksanaan nasional yang efektif ke dalam program daerah secara responsif dan bertanggung jawab. Kesulitan untuk menjalankan serangkaian pelayanan kepada masyarakat daerah oleh departemen yang ada di pusat seringkali dijumpai di negara mana pun di dunia ini. Bahkan banyak pejabat birokrasi nasional memiliki pemahaman yang minim dalam hal keberagaman kondisi daerah. Hal ini banyak berdampak pada kesulitan pemerintah merealisasikan program-program yang ada di daerah. Masyarakat yang merasa bahwa program pemerintah tidak sesuai dengan aspirasinya, dengan spontan akan pesimis menolak bahkan antipati terhadap program tersebut. Dengan demikian, sulit diharapkan tercapainya partisipasi masyarakat secara maksimal.
Program pemerintah yang tidak aspiratif bersumber dan keengganan aparat pemerintah untuk turun ke lapangan, melihat secara langsung apa yang menjadi kebutuhan mereka, bahkan sedapat mungkin berdialog secara khusus dengan mereka. Kenyataan yang ada di negara kita, tampak bahwa guna menyusun berbagai program pembangunan, pemerintah hanya meneropong dari ketinggian saja atau kalaupun turun ke wilayah, seperti yang dikatakan Chambers (1987) hanya sebagai 'turisme' saja. Akibatnya kebijakan pembangunan yang didasarkan pada pengamatan sedemikian itu banyak yang mengalami error, karena apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi masyarakat tidak sesuai dengan rencana pembangunan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, kemauan baik (good will) pemerintah untuk kontak dengan warga amatlah penting.
Peluang untuk berhubungan secara langsung dengan warga masyarakatnya, memungkinkan pimpinan daerah memperoleh lebih banyak pemahaman yang spesifik mengenai kebutuhan daerah. di samping fleksibilitas yang lebih tinggi dalam pengendalian sumber daya pengalokasian prioritas dan partisipasi masyarakat (Allen, 1990).
Hal-hal di atas merupakan determinan bagi perkembangan dan kesinambungan sistem pemerintahan yang efektiidan ekonomis. Jika “political will di atas terwujud dengan baik, maka akan tercapai sistem administrasi pemerintahan yang efisien. Motivasi administratif bagi keberadaan pemerintah daerah ialah bahwa desentralisasi pembuatan keputusan senantiasa lebih efisien dalam memberikan respon terhadap permasalahan yang dihadapi di daerah.

Berdasarkan uraian diatas, maka dengan memperhatikan fenomena pemerintahan daerah di Indonesia, dapat dikemukakan beberapa alasan tentang perlunya pemerintahan di daerah sebagai berikut :

1. Alasan sejarah
Secara hisitoris eksistensi pemda telah dikenal sejak masa pemerintahan kerajaan-kerajaan nenek moyang dahulu, sampai pada sistem pemerintahan yang diberlakukan oleh pemerintah penjajah, baik pemerintah Kolonialisme Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris maupun Jepang.
Demikian pula mengenai sistem kemasyarakatan dan susunan pemerintahannya mulai dari tingkat desa, kampung, negeri, atau dengan istilah lainnya sampai pada puncak pimpinan pemerintahan. Disamping itu upaya membuat perbandingan sistem pemerintahan yang berlaku di beberapa negara lain, juga amat penting untuk dijadikan pertimbangan bagi pembentukan pemerintahan daerah. Berdasarkan latar belakang sejarah di atas, maka pemerintah Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, merancang UUD yang di dalamnya mengatur secara eksplisit tentang Pemerintahan Daerah. Hal-hal ini terlihat dalam pola pikir dan usulan-usulan yang terungkap sewaktu para pendiri Republik (the founding fathers) ini mengadakan sidang-sidangnya dalam mempersiapkan Undang-Undang Dasarnya, yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1945 merupakan awal mula peraturan tentang pemerintahan daerah di Indonesia sejak kemerdekaan. Ditetapkannya UU tentang peraturan daerah tersebut merupakan resultante dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan kita di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Dengan demikian, produk UU tentang pemerintahan daerah dan seterusnya, yakni, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 44 Tahun 1950, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965 maupun UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, merupakan hasil pertimbangan sejarah pemerintahan negara kita sejak masa lampau, serta dengan perbandingan dengan sistem pemerintahan yang berlaku di beberapa negara di dunia. Jadi, dalam pandangan sejarah, urgensi pemerintahan daerah lebih di dorong oleh eksistensi pemerintahan daerah yang telah berlangsung dan dilaksanakan selang beberapa masa, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan Indonesia.

2. Alasan Situasi dan Kondisi Wilayah
Secara geografis, wilayah Negara Indonesia merupakan gugusan kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang satu sama lain dipisahkan oleh selat, laut dan dikelilingi lautan yang amat luas. Kondisi wilayah yang demikian ini, mempunyai konsekuensi logis terhadap lahirnya berbagai suku dengan adat istiadat, kebiasaan, kebudayaan dan ragam bahasa daerahnya masing-masing. Demikian pula keadaan dan kekayaan alam serta potensi permasalahan yang satu sama lain memiliki kekhususan tersendiri. Keanekaragaman yang menjadi ciri bangsa Indonesia serta potensi-potensi yang melekat di berbagai wilayah Indonesia, tentunya harus di-manage dengan baik sedemikian rupa sehingga mampu menjadi asset bangsa yang berharga untuk mendatangkan devisa guna pembentukan pendapatan nasional. Untuk itu, dipandang akan lebih efisien dan efektif apabila pengelolaan berbagai urusan pemerintahan ditangani oleh unit atau perangkat pemerintah yang berada di wilayah masing-masing daerah tersebut.
Alasan situasi dan kondisi wilayah di atas, akhirnya mendorong pemerintah pusat untuk membentuk dan membina pemerintahan di daerah dengan disertai pemberian hak otonom dalam mengurus rumah tangganya.

3. Alasan Keterbatasan Pemerintah
Setelah disepakatinya azas atau prinsip dan tujuan serta arah perjuangan Indonesia merdeka sebagaimana tertuang dalam naskah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dalam pelaksanaannya diperlukan perangkat pemerintahan di daerah, karena disadari bahwa tidak semua urusan pemerintah dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat. Sebagaimana telah ditekankan pada proses pengambilan keputusan rapat pengesahan UUD 1945, bahwa perangkat pemerintah di daerah adalah sebagai bagian dalam mekanisme pemerintahan pusat dan bukan merupakan negara sendiri. Untuk menjaga kemungkinan agar pemerintahan di daerah itu tidak memisahkan diri dan pemerintah pusat, maka dinyatakan selanjutnya bahwa di samping ada daerah otonom, ada juga yang bersifat administrasi belaka, dimana semua daerah itu merupakan wilayah administrasi Pemerintahan negara yang pembentukannya ditetapkan dengan Undang-undang.
Pemerintahan negara, berfungsi menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang sifatnya umum. Jika diperhadapkan pada kenyataan bahwa kemampuan pemerintah memiliki keterbatasan, maka pertimbangan pendelegasian kewenangan kepada unit pemerintahan di daerah-daerah tidak terhindarkan lagi. Sebab tidaklah mungkin pemerintah dapat menangani semua urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan masyarakat yang mendiami ribuan pulau yang tersebar dan Sabang sampai Merauke. Hal ini membawa konsekuensi logis terhadap kesiapan dan kemauan politik pemerintah untuk menyertakan personel, perangkat dan pembiayaan dalam urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan tersebut.

4. Alasan Politis dan Psikologis
Ketika UUD 1945 dalam masa penyusunan, maka pandangan yang menonjol pada saat itu adalah wawasan integralistis dan demokratis serta semangat persatuan dan kesatuan nasional. Semangat persatuan dan kesatuan tersebut telah menjiwai berbagai rencana pemerintah pada masa itu, termasuk dalam merancang sistem pemerintahan daerah. Dengan demikian, untuk tetap menjaga kekompakan semua tokoh dan keutuhan masyarakat dan wilayah, daerah-daerah perlu memilih pemerintahan sendiri dalam kerangka negara kesatuan, di samping untuk memberikan rasa tanggung jawab dalam mengisi kemerdekaan dan sekaligus memberi kesempatan kepada daerah untuk berperan serta dalam pemerintahan, sebagai perwujudan semangat dan jiwa demokrasi asli bangsa Indonesia.
Alasan politis dan psikologis ini memang tepat, karena sejarah telah membuktikan bahwa sekian lamanya kita hidup di bawah pemerintahan penjajah, semata-mata hanya disebabkan satu faktor utama, yakni lemahnya persatuan dan kesatuan bangsa pada waktu itu. Kondisi wilayah yang begitu luas dan terpisah-pisah oleh lautan, semakin memberi dorongan bagi krusialnya persoalan per- satuan dan kesatuan bangsa. Dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, maka daerah yang satu akan merasa sebagai bagian dari daerah yang lain, dan merupakan suatu kesatuan, sekalipun berbeda-beda adat istiadat, suku bangsa, ras dan agama serta bahasanya. Pembentukan dan pembinaan pemerintahan daerah adalah sarana efektif yang memungkinkan semangat persatuan dan kesatuan tetap terpelihara dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia, karena pemberian kepercayaan kepada pemerintah daerah akan mengurangi beban pemerintah untuk menjaga keutuhan negara yang berbhinneka tunggal ika:

B. Jenis-jenis Pemerintahan Daerah

Menyimak Pasal 18 UUD 1945, secara sepintas terlihat bahwa Pemerintahan di Daerah terdiri atas 2 jenis, yakni pemerintahan lokal administratif atau local state government dan pemerintahan lokal yang mengurus rumah tangga sendiri atau local self government.

1. Local Self Government
Sebagai konsekuensi pelaksanaan asas desentralisasi dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia adalah lahirnya local self government atau pemerintah daerah lokal yang mengurus rumah tangga sendiri. Dalam rangka melaksanakan pemerintahan negara yang sebaik-baiknya di tingkat daerah, dan upaya penyesuaian pemerintahan di tingkat daerah serta untuk mempermudah penyelenggaraan yang sifatnya sangat khusus dalam daerah tertentu, penyelenggaraan dapat diserahkan kepada suatu local government atau pemerintah lokal, yang diberi kewenangan untuk mengurusi kepentingan daerahnya sendiri. Dilihat dan segi tanggung jawab negara, maka mau tidak mau daerah yang menjadi organ pemerintahan negara mempunyai kedudukan sebagai bawahan negara semata-mata.
Dengan Undang-undang, suatu daerah dibentuk, sekaligus ditetapkan kewenangannya. Selanjutnya dengan Undang-undang suatu daerah dapat juga dipecahkan menjadi beberapa daerah, atau sebaliknya disatukan dengan daerah-daerah lain. Undang-undang memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, misalnya hak untuk mempunyai sumber penghasilan sendiri, yaitu dengan memungut pajak dan retribusi. Daerah yang pemerintahannya berdasarkan sistem ini disebut local self government atau pemerintah daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri. Urusannya disebut urusan rumah tangga sendiri atau urusan otonom, yang acapkali disebut otonomi. Sedangkan pemerintahannya disebut pemerintahan daerah otonom. Istilah otonom yang asal katanya autonomy secara etimologis berasal dan kata autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti perintah. Oleh karena itu otonomi berarti memerintah sendiri.
Dapat diartikan bahwa Otonomi Daerah adalah "Hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku". Sedangkan Daerah Otonom adalah "Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku".
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dikemukakan ciri-ciri local self government atau pemerintah lokal yang mengurus rumah tangga sendiri, yaitu :
1). Segala urusan yang diselenggarakan merupakan urusan yang sudah dijadikan urusan-urusan rumah tangga sendiri, oleh sebab itu urusan-urusannya perlu ditegaskan secara terperinci.
2). Penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan oleh alat- alat perlengkapan yang seluruhnya bukan terdiri dari para pejabat pusat, tetapi pegawai pemerintah daerah.
3). Penanganan segala urusan itu seluruhnya diselenggarakan atas dasar inisiatif atau kebijaksanaan sendiri.
4). Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang mengurus rumah tangga sendiri adalah hubungan pengawasan saja.
5). Seluruh penyelenggaraannya pada dasarnya dibiayai dari sumber keuangan sendiri.
Dengan demikian. Local Self Government atau Pemerintahan Lokal daerah dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia adalah semua daerah dengan berbagai urusan otonomi, yang mengurus rumah tangga sendiri. Hak otonom bagi local self government tentunya harus berada dalam kerangka sistem pemerintahan negara.

2. Local state government
Local state government sering diterjemahkan sebagai Pemerintahan Wilayah. Terbentuknya Local state government adalah sebagai konsekuensi dan penerapan asas Dekonsentrasi. Adanya pemerintah wilayah administratif atau pemerintah lokal administrate dalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintah di Daerah adalah sebagai wakil dan pemerintah pusat atau National Government. Jadi local state government atau pemerintah lokal administratif bertugas hanya menyelenggarakan perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk dari pemerintah pusat. Dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah Pusat (national government) yang ditempatkan di daerah acapkali disebut Pemerintah Lokal Pusat. Juga oleh karena menyangkut nama Pemerintah Pusat atau Pemerintah Negara, acapkali disebut Pemerintah Negara setempat.
Local state government atau pemerintah lokal administratif dibentuk karena penyelenggaraan seluruh urusan pemerintahan negara yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah pusat. Penyelenggaraan pemerintahan semacam ini disebabkan karena sangat luasnya wilayah dan banyaknya urusan pemerintahan. Konsekuensi dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan sistem local state government, maka tugas-tugas Pemda hanya terbatas pada tugas-tugas yang diberikan oleh pemerintah pusat berupa perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk. Terbuka kemungkinan adanya pengaturan yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam rangka upaya penyelenggaraan atau operasionalisasi petunjuk-petunjuk pemerintah pusat tersebut. Dalam kaitan dengan ini, maka perlu diterangkan pula mengenai pemerintah umum pusat di daerah dan pemerintah khusus pusat di daerah dalam kerangka pendalaman tentang konsep local state government tersebut.

C. Varian Struktur Pemerintahan Daerah

Walaupun terdapat beragam varian dalam sistem desentralisasi dengan karateristik yang berbeda, namun pada dasarnya ada empat pola (patterns) field administration and local government system yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Comprehensive Local Government System
Dalam sistem ini, sebagian besar urusan pemerintah pada tingkat daerah diserahkan kepada dan dikelola sepenuhnya oleh pemerintah daerah, baik urusan itu termasuk kewenangan otonomi daerah, maupun kewenangan daerah, dengan kemungkinan ditunjang oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah melaksanakan beberapa fungsi sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlalu, serta melaksanakan fungsi-fungsi lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat, atas nama departemen atau pemerintah pusat. Negara-negara di dunia yang menerapkan sistem ini, misalnya India, Pakistan, Sudan, dan Uni Arab Republik.

2. Partnership Local Government System
Dalam sistem ini, beberapa fungsi tertentu yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh unit pelaksana kantor pusat, dan urusan pelayanan yang lainnya dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah melaksanakan fungsi-fungsi tersebut sedikit banyak lebih bersifat mandiri (selfstanding, autonomously) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya, serta dapat melakukan beberapa tugas lainnya atas nama dan di bawah supervisi-teknik dari departemen pusat. Jadi, dalam sistem ini unsur-unsur pemerintah tertentu bisa dilakukan oleh unit dari departemen pusat atau pemerintah daerah, tergantung pada kebutuhan dan situasi. Contoh negara-negara yang menerapkan sistem ini adalah Srilangka, Kawasan Negara-negara yang berbahasa Inggris di Afrika, Nigeria Barat, dan sebagainya.

3. Dual System of Local government
Dalam sistem ini, departemen di pusat secara langsung melakukan tugas-tugas pemerintah daerah, dan tidak membentuk atau menunjuk unit pelaksana. Sedangkan pemerintah daerah, menurut perundang-undangan mempunyai kewenangan otonomi melakukan tugas-tugas otonominya, dan melakukan hal-hal yang dapat mendorong perkembangan daerah. Namun, dalam prakteknya sedikit sekali yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, sebab dalam sistem ini sering terjadi konflik dan overlapping tugas-tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Yang menonjol dalam sistem ini, adalah pemerintah daerah lebih berperan sebagai alat political decentralization daripada sebagai alat peningkatan pembangunan sosial ekonomi. Hal ini berakibat, pemerintah daerah tidak dapat dengan leluasa menyelenggarakan urusan rumah tangganya untuk memacu pembangunan secara komprehensif multidimensional. Pemerintah daerah hanya diperlukan untuk mempercepat proses pencapaian tujuan pemerintah pusat secara sepihak. Sistem seperti ini umumnya diterapkan di Amerika Latin, dan sebagainya.

4. Integrated Administrative System
Di dalam sistem ini, semua badan-badan Pemerintah Pusat langsung melakukan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat, dimana central government area coordinators atau semacam Kepala Wilayah bertanggung jawab untuk bertindak sebagai koordinator bagi unit pelaksana termasuk technical agencies dari pemerintah daerah. Dengan demikian, peranan pemerintah daerah relatif sangat kecil untuk mengontrol kegiatan pemerintah dan staf di wilayahnya, karena semua kegiatan pemerintah berada di bawah koordinasi koordinator wilayah. Sistem seperti ini sangat rawan untuk terjadinya pergolakan daerah atau separatisme, karena daerah menjadi semakin tidak berdaya dan kehilangan wibawa. Sistem seperti ini telah diterapkan di negara-negara Asia Tenggara dan Timur Tengah.

Senin, 06 Oktober 2008

UJI KOMPETENSI DALAM JABATAN (Sebuah Ilustrasi Profesionalisme PNS)

Yang dibutuhkan organisasi pemda saat ini adalah orang yang bekerja keras dengan otaknya (brain power), bukan orang yang kuat sehingga dapat bekerja dengan ototnya (muscle power)...

Dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah secara siginifikan telah memberikan perubahan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Ciri utama dari kedua UU tersebut adalah makin luasnya otonomi daerah dan makin meningkatnya diskresi daerah dalam melaksanakan otonomi daerahnya. Sedikitnya ada enam perubahan besar yang terjadi terhadap pilar-pilar atau soko guru pemerintahan daerah yaitu : Perubahan isi otonomi yang akan merubah cakupan kewenangan pemda, melembagakan kewenangan-kewenangan tersebut dalam bentuk lembaga/organisasi pemda, penataan personil yaitu pegawai yang akan menjalankan lembaga tersebut, perubahan pengelolaan keuangan, perubahan dalam aspek perwakilan rakyat dan demokratisasi dalam pilkada, serta perubahan dalam pengelolaan otonomi daerah. Pembaharuan, perubahan, dan penyempurnaan terhadap enam pilar di atas, penulis akan lebih menyoroti pada upaya penataan kelambagaan dan penataan personil pemda yang sampai saat ini semakin jauh dari filosofis berdirinya pemda maupun upaya perwujudan organisasi organisasi Pemerintah Daerah yang modern dan profesional.
Demikian halnya saat ini, dengan keluarnya PP No 41/2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Permendagri No. 57 Ttg Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, yang mengatur jumlah Dinas daerah, Lembaga Teknis daerah dan perangkat lainnya, sesuai dengan tipologi dari masing2 daerah. ditetapkanya PP No. 41/2007 yang merupakan PP pengganti dari PP 8/ 2003 adalah untuk lebih meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam hal pelayanan publik serta untuk mengurangi pro dan kontra yang selama ini disampaikan oleh provinsi dan kab/kota di Indonesia yang dalam tataran implementasi banyak yang menolak pemberlakuannya di daerah masing-masing. Walaupun harus diakui, bahwa sektor pembiayaan rutin sangat besar jika dibandingkan dengan biaya pembangunan (secara kasat mungkin terlihat telah ada perubahan perbandingan yang lebih baik, namun jika kita lihat lebih jauh dalam penganggaran dari masing-masing SKPD, itu semua hanya kamuflase semata). Pemerintah daerah sepertinya terperangkap dalam penyakit "Birokrasi Parkinsonia" (Evers.1991), yakni adanya keinginan untuk selalu menambah jumlah satuan kerja/unit organisasi strukturalnya (akibat kekeliruan pemda dalam menterjemahkan UU No. 22/1999 dan PP No. 84/1999 lalu), sehingga ketika PP 8/2003 diberlakukan, mereka enggan untuk melaksanakannya.
Walaupun pemberlakuan PP No. 8 Tahun 2003 saat ini telah digantikan dengan PP No. 41/2007, bukan berarti tugas pemda selesai tetapi justru disinilah pemerintah diperhadapkan pada permasalahan yang lebih vital dan strategis. Sebagaimana kita ketahui ada tiga dimensi perubahan yang diperhadapkan pada pemda dalam upaya melakukan perubahan terhadap kinerja organisasinya, yaitu Dimensi Struktural, Dimensi Fungsional, dan Dimensi kultural. Dari ke tiga dimensi tersebut nampaknya dimensi kultural sangat sulit untuk diterapkan tanpa adanya komitmen yang kuat dari pimpinan (Gubernur, Walikota/Bupati) untuk melakukan perubahan yang signifikan.
Dengan pemberlakuan PP ini, pimpinan daerah dituntut untuk lebih jeli dalam menempatkan para pegawainya (terutama pegawai yang berpangkat tinggi, namun tidak menduduki satu jabatan struktural). Dengan banyaknya pegawai berpangkat tinggi tersebut birokrasi kembali terperangkap lebih parah lagi akibat terinfeksi virus "pathologi birokrasi" dimana menurut Budi Santoso,1993, dampak lebih jauh dari adanya penyakit Pathologi birokrasi ini menimbulkan perilaku dari individu-individu yang ada dalam birokrasi yang selalu mengejar jabatan struktural. Kecenderungan di lapangan pada era otonomi daerah saat ini, masih mewarisi pola-pola lama dalam promosi jabatan struktural, yakni berdasarkan kedekatan dan senioritas bukan integritas, moralitas. Pendidikan, dan kompetensi, dengan kata lain “sistem mutasi saat ini tidak didasarkan atas keahlian, namun lebih atas dasar kepercayaan”. (sangat berbanding terbalik dengan keinginan pemerintah yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 133 Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar daerah, dan kompetensi). Hal ini senada dengan perkataan Drucker yang mengatakan “We are change the world, faster than we can change ourself”. Dan parahnya lagi kondisi ini sepertinya dimaklumi saja oleh para pimpinan organisasi pemda saat ini. Sehingga tidak aneh lagi kalau dikalangan birokrasi, pegawai yang memiliki kompetensi/kemampuan pemikiran yang baik tidak secara otomatis akan menduduki posisi yang sesuai dengan tingkat kemampuan intelektual/kompetensi yang dimilikinya. Jadi tidaklah mengherankan kalau pegawai saat ini lebih tertarik untuk memperdalam “ilmu kodok”-nya (Sepak kanan, sepak kiri, injak bawah dan selalu menjilat ke atas untuk mendapatkan kepercayaan) ketimbang meningkatkan kemampuan teknis pemerintahannya.
Sekali lagi saya jelaskan bahwa promosi jabatan yang selama ini sepertinya didasarkan pada kedekatan dengan pimpinan tingkat atasnya menurut penulis adalah dikarenakan asumsi dari para pegawai (termasuk sang pimpinan) yang berpikir bahwa jabatan struktural adalah kepercayaan, walaupun asumsi ini tidak mempunyai dasar legalitas, tetapi nampaknya sering dipraktekkan. Sedangkan senioritas dalam pengertian kepangkatan, dilakukan karena menggunakan pendekatan eselonering untuk jabatan struktural (eselonisasi telah melahirkan birokrasi yang sibuk mengejar senioritas pangkat dan eselon yang sering tidak berhubungan dengan peningkatan kinerja), bukan karena kemampuan atau keahlian yang dimiliki oleh yang bersangkutan sesuai dengan jabatan struktural yang ada, tetapi karena jenjang kepangkatan yang bersangkutan (padahal point ini bukanlah faktor utama sebagaimana dalam pasal 133 UU No. 32 Tahun 2004 di atas).
Perlu diketahui, bahwa dalam era otonomi daerah saat ini, setiap organisasi pemerintah daerah menghadapi tantangan yang sangat kompleks dan tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Oleh karena itu dibutuhkan model organisasi yang ramping yang didukung oleh personil yang mempunyai kemapuan dan keahlian sesuai dengan tugas pokok dan fungsi organisasinya. Hal ini sejalan dengan pernyataan steward yang menyatakan : “Yang dibutuhkan organisasi pemda saat ini adalah orang yang bekerja keras dengan otaknya (brain power), bukan orang yang kuat sehingga hanya dapat bekerja dengan ototnya (muscle power)”.
Dengan adanya tantangan seperti ini, dibutuhkan adanya kebijakan untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia sesuai dengan keahlian dan kebutuhan organisasi, sehingga setiap personil dalam mengejar prestasi lebih mengarah kepada bagaimana memberikan kontribusi yang optimal kepada organisasinya, bukan sekedar bagaimana mendapatkan jabatan struktural.
Untuk mengimbangi hal tersebut, agar kegiatan rasionalisasi (perubahan dimensi struktural dan fungsional) tidak menjadi sia-sia belaka maka pemerintah daerah memerlukan adanya perubahan orientasi perilaku personil (dimensi kultural). Salah satu upaya melakukan perubahan orientasi perilaku adalah dengan melaksanakan Uji Kompetensi bagi pegawai yang akan menduduki jabatan tertentu. kebijakan ini disamping dapat memberikan analisa jabatan yang tepat dalam penempatan seorang pegawai dalam jabatan struktural, tetapi bermanfaat pula dalam mengarahkan pemda untuk dapat mengembangkan berbagai jenis jabatan fungsional. Seperti personil yang mempunyai kemampuan untuk perencanaan ditempatkan di Bappeda dengan jabatan fungsional perencanaan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi menyusun perencanaan pembangunan daerah yang tidak terkooptasi dengan jabatan struktural. Namun demikian, jabatan fungsional bukan dimaksudkan untuk sekedar menambah usia pensiun dari seorang PNS, dengan mengalihkan jabatan, dari jabatan struktural ke jabatan fungsional.
Uji kompetensi sebagaimana disampaikan adalah merupakan suatu standar penilaian/kompetensi bagi para pegawai yang akan dipromosikan untuk duduk dalam suatu jabatan tertentu (Jabatan Fungsional maupun Struktural). Bukan berarti dengan diciptakannya standar penilaian tersebut maka Tim Baperjakat yang ada di Pemerintah Daerah Propinsi, Kota/Kabupaten akan tidak berfungsi lagi. Tetapi dengan adanya standar penilaian ini akan dapat membantu Tim Baperjakat untuk mempromosikan pegawai-pegawai yang akan menduduki suatu jabatan. Sehingga peranan Baperjakat akan dapat berjalan dengan optimal dalam memberikan atau menempatkan pegawai pada posisi yang tepat sesuai dengan kompetensi yang dimiliki (The right man in the right place). Diharapkan pula dengan adanya Uji Kompetensi tersebut para pegawai terpacu untuk dapat meningkatkan kemampuannya (keterampilan, pengatahuan,dll) agar dapat memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan.
Upaya penetapan standar-standar untuk mengadakan uji kompetensi jabatan tentunya harus pula memperhatikan aspek kecerdasan dan kematangan diri, kualifikasi pendidikan, track record, visi dan misi terhadap jabatan yang diembannya maupun aspek psikologis PNS. Yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah langkah yang dapat diambil pemerintah daerah agar pergeseran paradigma ini dapat diterima dengan baik oleh semua pihak ?
Langkah awal dalam membenahi organisasi pemerintah adalah perlu adanya suatu upaya pembaharuan (dari pimpinan/Top Manager) yang sesuai dengan perkembangan lingkungan dimana organisasi tersebut tumbuh dan berkembang. Hal di atas sejalan dengan pemikiran yang diungkapkan Albert Einstein yang mengatakan “The significant problems we face can not be solved at the same level of thinking we were at when we create them.” (Masalah-masalah mendasar yang kita hadapi saat ini tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan level berpikir sebelumnya yang justru menciptakan masalah-masalah tersebut).
Secara teoritis upaya melakukan pembaharuan/menciptakan pergeseran paradigma dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
Pertama, dilakukan secara sadar, sukarela, dan proaktif-antisipatif (inside out). Mengikuti pembelajaran atau pendidikan, memperluas wawasan, belajar dari pengalaman masa lalu, membaca, bergaul dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, berusaha mengenali misi dan visi hidup pribadi dan organisasi, dan melakukan kegiatan spiritual adalah merupakan proses perluasan paradigma yang dapat dilakukan secara sadar, sukarela dan proaktif-antisipatif.
Kedua, dilakukan dengan terpaksa atau reaktif (outside in), umumnya tanpa disertai dengan kesadaran, karena dipicu oleh berbagai peristiwa traumatis (misalnya PHK, ditinggal mati oleh orang yang kita cintai, usaha kita bangkrut, dll). Keterpaksaan ini dapat terjadi karena paradigma yang kita anut ternyata telah beku atau lumpuh, terperangkap pada realitas semu yang penuh tipu, kepalsuan dan kemunafikan.
Berdasarkan dua langkah yang dapat ditempuh dalam upaya menerima serta menghadapi perubahan dimensi kultural tersebut, Penciptaan Standar Kompetensi maupun Uji Kompetensi dapat saya katakan sebagai salah satu wujud dari upaya menghadapi tuntutan masyarakat akan kinerja pemerintahan yang dilakukan secara sadar, dan proaktif-antisipatif (inside out). Dimana hal ini ditempuh untuk mengobati penyakit di dalam tubuh organisasi pemerintah agar dapat menerima serta beradaptasi dengan iklim lingkungannya yang baru. Di samping itu Uji Kompetensi dapat pula saya katakan sebagai satu keterpaksaan yang harus diambil oleh pemerintah daerah untuk mengatasi permasalah yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berada pada level low trust, semoga tidak berlanjut pada level Distrust sehingga mau tidak mau pemerintah harus segera berbenah diri untuk dapat mengubah image pemerintahan yang buruk di mata masyarakat.
Uji kompetensi yang disarankan ini adalah merupakan salah satu syarat penting yang dapat dipertimbangkan bagi berfungsinya organisasi pemda serta merupakan salah satu syarat sebelum PNS tersebut ditempatkan dalam jabatan dan sangat urgent dilakukan mengingat makin terbatasnya jumlah jabatan struktural yang tersedia sekaligus untuk mengakomodasi penilaian publik yang menilai birokrasi Pemerintah Daerah adalah malas, tidak memiliki potensi, tidak disiplin dan kinerjanya rendah.
Pertanyaan berikutnya yang diperhadapkan pada kita adalah bagaimana kita menciptakan standar-standar tersebut ? Bukankah dilingkup organisasi pemerintahan sudah ada DP-3 dan Analisis Jabatan (yang mulai jarang diterapkan/direncanakan semoga tidak dilupakan) yang bermanfaat untuk menilai serta melihat prestasi kerja seorang pegawai. Apakah itu tidak cukup ?
Sebagaimana diketahui, kompetensi adalah merupakan kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seseorang pegawai negeri sipil berupa pengetahuan, keahlian dan sikap perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatannya. Dimana untuk mengukur kompetensi yang dimiliki seorang pegawai tersebut kita dapat menetapkan standar-standar kompetensi yang diperlukan dalam rangka peningkatan profesionalisme PNS yang akan menduduki jabatan struktural eselon I, II, III, IV dan V. Standar-standar yang akan diciptakan itu kemudian dibagi kedalam dua indikator, yaitu indikator umum (Kompetensi umum) dan indikator khusus (Kompetensi khusus). Standar ini tentunya sangat berbeda dengan DP-3 yang selama ini dikenal dikalangan PNS, dimana indikator-indikator dalam DP-3 tersebut berlaku secara menyeluruh bagi semua PNS (nilainya pun selalu meningkat, nda pernah turun........???).
Kompetensi umum yang dikembangkan dalam Uji kompetensi ini berisikan indikator-indikator yang bertujuan untuk menilai kemampuan dan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang PNS berupa pengetahuan dan perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatan struktural yang dipangkunya. Sedangkan Kompetensi khusus berisikan indikator-indikator yang bertujuan untuk menilai kemampuan dan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang PNS berupa keahlian yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatan struktural yang dipangkunya. Dalam proses ini peran daripada analisis jabatan yang saat ini kurang berfungsi dapat lebih digiatkan lagi oleh masing-masing pembina kepegawaian di instansi masing-masing yang berguna untuk menentukan indikator-indikator khusus yang tentunya sesuai dengan keadaan, kenyataan dan kebutuhan kerja yang riil. Dengan terciptanya standar-standar yang berisi indikator-indikator penilaian tersebut dapat dijadikan sebagai standar baku bagi Tim Baperjakat/Pembina Kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS dari dan dalam jabatan, serta sebagai dasar penyusunan/pengembangan program pendidikan dan pelatihan PNS.
Sebagai contoh saya dapat uraikan beberapa Standar kompetensi Umum dan khusus dalam Jabatan Eselon III. Seseorang yang dapat menduduki jabatan eselon III paling tidak memenuhi standar kompetensi umum seperti : Mampu memahami dan mewujudkan Kepemerintahan yang baik (Good Governance), Mampu memberikan pelayanan yang baik terhadap kepentingan publik, Mampu berkomunikasi dalam bahasa inggris, Mampu melakukan pendelagian kewenangan terhadap bawahannya, Mampu melakukan akuntabilitas kinerja unit organisasinya dengan baik, Mampu melakukan evaluasi dan bahkan Mampu memberikan masukan-masukan tentang perbaikan program kepada pejabat atasannya, dan hal terkait lainnya. Standar Kompetensi Umum ini pada dasarnya dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun diklat kepemimpinan. Kemudian Standar Kompetensi khusus, berisi tentang keahlian yang disesuaikan dengan jabatan yang bersangkutan. Misalnya Kepala BKD di tingkat Kota/Kabupaten, Standar Kompetensi khusus yang harus dimiliki antara lain : Mampu menyusun program kebutuhan dan penempatan pegawai, Mampu menyusun program analisis jabatan untuk perencanaan pegawai, mampu menyusun, Mampu menyusun sistem informasi kepegawaian, Mampu memberikan pertimbangan pemberhentian dan pemensiunan pegawai, dan lainnya. Perlu diingat pula bahwa standar kompetensi khusus ini pada dasarnya dapat ditetapkan oleh Pembina kepegawaian di Instansi masing-masing sesuai dengan uraian tugas/jabatan di unit organisasinya masing-masing.
Upaya pergeseran paradigma dari konsep kecakapan menjadi kompetensi (melalui uji kompetensi), diharapkan secara perlahan namun pasti tentunya akan menimbulkan implikasi strategis yang sangat positif bagi kegiatan perencanaan dan pengelolaan sumber daya aparatur pemerintah dilingkup apapun dalam setiap kegiatan. Sehingga dengan demikian kompetensi nantinya merupakan faktor mendasar dalam hal penempatan seseorang dalam jabatan tertentu.
Namun demikian, penulis pun cukup menyadari bahwa untuk merealisasikan keinginan ini diperlukan suatu pengorbanan, kerja keras serta komitmen yang kuat dari semua pihak. Karena semakin besar cakupan kepentingannya, semakin besar dimensi kemanusiaan yang dikandungnya, maka semakin besar pula tantangan dan kesulitan yang akan dihadapi dalam proses merealisasikan keinginan tersebut. Penulis teringat pada pidato Winston Churchill saat ia di undang di sekolah dimana ia dahulu menjadi siswa. Para hadirin saat itu bertanya-tanya, pidato apakah yang akan disampaikannya? Ketika ia tampil di podium dan mulai menyampaikan pidatonya : “Never give up, Never give up, never, Never give up !!!!” Lalu, ia pun duduk kembali. Semua yang hadir menjadi diam mendengar pidato yang amat singkat itu, tapi kemudian semua yang hadir memberikan Standing ovation (penghormatan), karena mereka memahami bahwa intisari dari segala usaha mengimplemtasikan segala keinginan dan kegiatan kita adalah “Jangan pernah menyerah”.

Semoga bermanfaat....GBU..

Total Tayangan Halaman

ARTI SAKATIK

SELAMAT DATANG DI BLOG SAKATIK.COM
KATA SAKATIK DIAMBIL DARI BAHASA DAYAK NGAJU YANG MEMILIKI ARTI "SEBAGAI PEMBIMBING" ATAU BISA DIKATAKAN SEBAGAI "MENTOR/GEMBALA" BAGI SEMUA ORANG.
MELALUI BLOG INI SEMOGA DAPAT MENJADI SEBUAH SUMBER KEBAIKAN BAGI SEMUA ORANG.