Kamis, 15 Januari 2009

MK Hapus Sistem Nomor Urut


JAKARTA (SINDO)- Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan tentang penentuan anggota legislatif terpilih berdasarkan 30 % bilangan pembagi pemilih (BPP) dan nomor urut.

Dengan demikian,partai politik harus menggunakan suara terbanyak untuk menentukan anggota legislatif.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mo­hammad Mahfud MD mengatakan, Pasal 214 huruf a,b,c,d dan, e Undang-Undang (UU) No 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, bertentangan dengan UUD1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Maka penentuan calon terpilih harus didasarkanpada calon legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan," kata Mahfud MD dalam amar putusan yang dibacakan di Gedung MK, Jakarta, kemarin.

Dalam pertimbangan mahkamah disebutkan, setiap calon anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum. Artinya, ketentuan pasal tentang BPP dan nomor urut mengandung standar ganda dan dapat dinilai memberlakukan hukum yang berbeda.

Hakim konstitusi Muhammad Alim menambahkan, pemberlakuan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung suara rakyat untuk menentukan pilihan.

Pertimbangan mahkamah selanjutnya, pemilihan anggota legislatif dilakukan dengan sistem proporsional terbuka. Sistem ini membuat rak­yat secara bebas memilih dan menen­tukan calon anggota legislatif. De­ngan begitu, akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak.

"Keinginan rakyat me­milih wakil-wakil yang diajukan oleh partai politik dalam pemilu sesuai dengan kehendak dan keinginan mereka dapat terwujud," kata Alim.

Sesuai konstitusi negara ini, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dalam berbagai kegiatan pemilu, rakyat juga langsung berhak memilih siapa yang mereka kehendaki. "Rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh peserta pemilu demi mencapai kemenangan semata," sebut Alim.

Mahkamah menilai atur­an tentang 30% BPP dan no­mor urut telah menusuk rasa keadilan dan melanggar ke­daulatan rakyat. Pelanggaran tersebut karena pilihan masyarakat tidak diindahkan dalam penetapan ang­gota legislatif. Misalnya, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang berbeda secara ekstrem, calon yang mendapat suara banyak terpaksa dikalahkan oleh calon yang mendapat suara sedikit dengan nomor urut lebih kecil.

"Tidak ada rasa dan logika yang dapat membenarkan bahwa keadilan dan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat dapat dilanggar dengan cara seperti itu," lanjut Alim.

Meski Mahkamah menyatakan pasal tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hu­kum mengikat, hal itu tidak akan menimbulkan kekosongan hukum, walaupun tanpa revisi undang-undang maupun pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). "Putusan Mahkamah demikian bersifat selfexecuting," kata Alim.

Artinya, KPU, berdasar­kan kewenangan Pasal 213 UU 10/2008, dapat menetapkan calon terpilih sesuai putusan MK dalam perkara ini. Hakim konstitusi Maria Farida berbeda pendapat. Maria tidak setuju Pasal 214 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

"Penetapan calon terpilih seperti diatur dalam Pasal 214 UU No 10/2008 merupakan tindakan afirmatif dalam rangka memberikan peluang bagi keterpilihan calon perempuan. Karena itu, penetapan penggantian dengan suara terbanyak akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif tersebut," ujar Maria.

Dengan membatalkan Pasal 214 huruf a sampai e, kata Maria, penetapan calon terpilih dilakukan berdasar­kan siapa yang meraih suara terbanyak. Akibatnya, sistem zipper, yakni sistem yang mengharuskan partai menempatkan minimal satu perempuan di antara tiga calon, menjadi tidak berguna.

Tindakan afirmatif mendorong perempuan lebih ba­nyak di DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, menjadi hilang. Suara terbanyak adalah identik dengan menafikan tindakan afirmatif tersebut.

Pada kesempatan yang sama, Mahkamah juga memutuskan tetap mempertahankan DPR, DPD, dan DPRD, serta memutuskan untuk mempertahankan ketentuan kuota perempuan sebesar 30% dan terdapat sekurang-kurangnya satu perempuan bakal calon pada setiap tiga orang di daftar bakal calon, seperti yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu.

Menurut mahkamah, pasal itu tidak melanggar kons­titusi. "Ketentuan Pasal 55 ayat (2) merupakan peletakan dasar-dasar yang adil dan secara sama bagi laki-laki dan perempuan," Ian jut Alim.

Mendengar putusan ter­sebut pemohon langsung terlihat gembira. Muhammad Sholeh, pemohon yang juga calon anggota DPRD Jawa Timur Periode 2009-2014 dari Partai Demokrasi Indo­nesia Perjuangan (PDIP) nomor unit 7, mengatakan, dengan putusan ini semua calon harus berjuang untuk mendapatkan posisinya. "Ini bukan hanya untuk kepentingan saya, tapi juga kepentingan bersama," katanya.

Hal senada disampaikan pemohon lain, Sutjipto, calon anggota legislatif dari Partai Demokrat. "Buat saya_yang_ berada pada nomor unit 1, sebenarnya putusan ini tidak berpengaruh.Tapi ini untuk demokrasi dan rasa keadilan bagi calon legislatif lain," katanya. Putusan ini memberikan perlakuan yang sama di depan hukum antara no­mor urut besar dengan calon legislatif yang berada di nomor urut kecil.

Tidak Ada Hambatan

Mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu Ferry Mursyidan Baldan meminta se­mua pihak menghormati pu­tusan MK. Dia mengusulkan segera digelar pertemuan konsultasi antara pemerintah, DPR dan KPU untuk menindaklanjuti putusan tersebut. "Atau KPU menelaah secara yuridis untuk kemudian dikonsultasikan dengan pemerintah dan DPR. Hal ini harus segera dilakukan," ujar Ferry.

Menanggapi kekhawatiran beberapa pihak, Mahfud MD menambahkan, dengan putusan tersebut dia menjamin tidak akan terjadi hambatan yang pelik. Alasannya, pihak terkait, dalam hal ini KPU, pada sidang pleno di MK pada 12 Desember lalu, sudah menyatakan siap. "KPU akan melaksanakan putusan mahkamah jika ha­rus menetapkan anggota le­gislatif dengan suara terbanyak," tambahnya.

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati menyatakan akan membuat peraturan untuk me­laksanakan putusan ter­sebut. "KPU dan tentu saja seluruh peserta pemilu, terutama parpol, calon anggota DPR dan DPRD, harus mengikuti putusan itu karena sudah dinyatakan berten-tangan dengan UUD 1945," katanya.

Mengembalikan Hak Rakyat

Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay mengatakan, putusan MK adalah bonus akhir tahun bagi pemilih. Dengan putus­an tersebut, kedaulatan di tangan pemilih. "Pilihan masyarakat tidak lagi dipelintir oleh parpol," urainya pada SINDO kemarin. Dia me­nambahkan, putusan MK tersebut merupakan putusan yang progresif. "Ini peringatan telak bagi DPR untuk tidak membuat peraturan yang manipulatif dan untuk kepentingan parpol dalam jangka pendek," gugatnya.

Menurut Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, putusan MK ini memperlihatkan kemenangan untuk mengembalikan hak rakyat. "Negara ini milik rakyat. Mahkamah telah meng­hormati hak rakyat," ujarnya.

Ketua DPP Partai Demo­krat Bidang Politik Anas Urbaningrum menyatakan sejak awal partainya konsisten mendukung penetapan calon terpilih dengan model suara terbanyak. Bagi Anas, suara terbanyak lebih adil, baik dalam konteks sesama calon maupun adil terhadap suara rakyat.

Sumber berita : SEPUTAR INDONESIA
Rabu, 24 Desember 2008 14:34

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

ARTI SAKATIK

SELAMAT DATANG DI BLOG SAKATIK.COM
KATA SAKATIK DIAMBIL DARI BAHASA DAYAK NGAJU YANG MEMILIKI ARTI "SEBAGAI PEMBIMBING" ATAU BISA DIKATAKAN SEBAGAI "MENTOR/GEMBALA" BAGI SEMUA ORANG.
MELALUI BLOG INI SEMOGA DAPAT MENJADI SEBUAH SUMBER KEBAIKAN BAGI SEMUA ORANG.