Rabu, 19 November 2008

KENEGARAWAN PEMIMPIN LOKAL DALAM MEWUJUDKAN TUJUAN OTONOMI DAERAH

”Ketika tugas negara dimulai, maka kepentingan politik berakhir”. Artinya, seorang pejabat negara (pemimpin) harus berkonsentrasi untuk “mengurus negara” dengan benar, walaupun tanpa harus menghapuskan identitas latar-belakang politiknya maupun asal usulnya sama sekali. Karena, identitas politik seorang politisi (negarawan) senantiasa melekat padanya."

PENGERTIAN DAN VISI OTONOMI DAERAH

Dalam kaitannya dengan hukum dan politik, otonomi daerah berarti self government atau the condition of living under one's own laws. Jadi otonomi daerah adalah daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own laws. Karena itu, otonomi lebih menitik-beratkan aspirasi daripada kondisi. Otonomi daerah juga mengandung arti kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Kemandirian, bukan berarti kesendirian, bukan pula sendiri-sendiri karena tetap bhinneka tunggal ika, melainkan untuk memecahkan masalah-masalah daerahnya sendiri tidak selalu dan terlalu menggantungkan diri kepada pemerintah pusat.
Otonomi daerah, menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, otonomi daerah pada hakikatnya adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah: penetapan kebijaksanaan sendiri, pelaksanaan sendiri, serta pembiayaan dan pertanggungjawaban daerah sendiri. Dalam makna otonomi ini daerah ditantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi. Karena itu, dalam rangka otonomi daerah diperlukan kombinasi yang efektif antara visi yang jelas serta kepemimpinan yang kuat dari pemerintah, dengan keleluasaan berprakarsa dan berkreasi pemerintah daerah. Agar dapat mengelola hak, kewenangan dan kewajiban mengurus kepentingan daerah sendiri secara mandiri dimaksud, mutlak diperlukan arahan visi, misi, tujuan dan sasaran yang jelas tentang konsep otonomi daerah.
Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama : politik, ekonomi serta sosial dan budaya. Di bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai suatu proses untuk membuka ruang bagi lahirnya pemimpin pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan responsibel terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Demokratisasi pemerintahan juga berarti transparansi kebijakan. Artinya, untuk setiap kebijakan yang diambil, harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu, apa tujuannya, berapa ongkos yang harus disiapkan, siapa yang akan diuntungkan, apa resiko yang harus ditanggung, dan siapa yang bertanggung jawab jika kebijakan itu gagal. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.
Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di lain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian, otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial di antara kelompok yang ada dalam masyarakat, serta wajib memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespons dinamika kehidupan di sekitamya.
Berdasarkan berbagai pengertian dasar dan visi otonomi daerah yang demikian, maka makna hakiki otonomi daerah sesungguhnya yang dikenal dalam sistem pemerintahan kita selama ini adalah sebagai berikut :
1. Otonomi sebagai hak (reward, diakui, dilindungi).
Definisi ini merupakan respons terhadap system pemerintahan kolonial dan kemudian sebagai ungkapan kondisi hubungan antara pusat dan daerah. Isi kebijakannya sentralistik, sebagaimana ditemukan dalam berbagai peraturan perundang¬ undangan tentang pemerintahan daerah sejak tahun 1945 sampai tahun 1974 melalui UU Nomor 5 tahun 1974.
2. Otonomi sebagai kewenangan (birokratisasi dan kewajiban), guna memperkuat posisi pusat terhadap daerah, melanjutkan birokratisasi pemerintahan dan dengan dalih demokrasi, menjadikan daerah sebagai tempat sampah semua urusan yang sarat konflik dan tidak mendatangkan sumber pendapatan sehingga meringankan beban pemerintah pusat. Batasan ini menjiwai kebijakan otonomi daerah dalam UU No. 22 tahun 1999 dan 25 tahun 1999.
3. Otonomi sebagai kesanggupan (pemberdayaan dan demokratisasi), Inilah otonomi sebagai proses pembelajaran. Masyarakat otonom dalam batas -batas kemampuan atau kesanggupannya. Pembelajaran dilakukan secara bertahap, demokratik, selektif, kondisional, tidak seragam dan tidak serentak. Karena itu, otonomi sama sekali bukan untuk meringankan beban atau tanggung jawab pemerintah pusat atas daerah. Otonomi bukan pula proses pemerataan KKN ke daerah-daerah, melainkan pemberdayaan daerah untuk mengelola sumber-cumber yang ada dengan efektif dan efisien serta mendistribusikannya demi perbaikan kualitas hidup masyarakat. Makna yang demikian sebagian sudah diakomodasi dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dengan demikian, makna otonomi daerah yang perlu dikembangkan ke depan adalah sebagai kesanggupan stakeholder pemerintahan daerah untuk mengelola cumber daya secara efektif, efisien dan bertanggung jawab demi peningkatan kualitas hidup masyarakat sehingga terwujudlah daerah otonom yang berdaya, mandiri dan sejahtera.

TUJUAN OTONOMI DAERAH

Berkenaan dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan otonomi daerah setidak-tidaknya mencakup empat aspek utama sebagai berikut. Pertama, dari segi politik, untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun mendukung politik dan kebijakan nasional dalam rangka pengembangan proses dan mekanisme demokrasi di lapisan bawah. Kedua, dari segi manajemen pemerintahan, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan publik dengan memperluas jenis¬-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat. Ketiga, dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan usaha em¬powerment masyarakat sehingga mereka makin mandiri/ self-sustainable dan tidak tergantung kepada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses pertumbuhannya. Keempat, dari segi ekonomi pembangunan ialah untuk melancarkan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peranserta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI. Hal itu berarti tujuan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan daerah dan mensejahterakan rakyat.
Berdasarkan rumusan tujuan otonomi daerah yang demikian, maka tujuan otonomi daerah yang disepakati selama ini adalah, pertama, membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga is berkesempatan mempelajari, memahami, merespons berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya serta berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategic. Kedua, proses pemberdayaan daerah. Kemampuan prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat dan mandiri. Dengan demikian, tujuan otonomi, daerah adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI.

KEPEMIMPINAN LOKAL DALAM MEWUJUDKAN TUJUAN OTONOMI DAERAH

Dalam upaya untuk mewujudkan tujuan dari otonomi daerah tersebut kita tentunya membutuhkan kehadiran para pemimpin, baik pemimpin formal kenegaraan maupun informal. Pemimpin merupakan pemandu, sekaligus panutan bagi yang dipimpin. Ketiadaan pemimpin membuat masyarakat menjadi kacau, berseteru satu sama lain. Kehadiran mereka amat diperlukan, untuk mempersatukan dan mengelola berbagai potensi konflik yang ada, dalam bingkai kebersamaan sehinga menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan. Karenanya, disadari, betapa tidak mudahnya menjadi pemimpin. Tidak sembarang orang dapat tampil menjadi pemimpin, kecuali melalui serangkaian ujian kepemimpinan, dari yang sederhana hingga yang rumit. Pemimpin elite yang telah teruji di tengah-tengah komunitasnya. Hal ini sangat terkait dengan Visi otonomi daerah dalam ruang lingkup interaksi politik. Karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai suatu proses untuk membuka ruang bagi lahirnya pemimpin pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan responsibel terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.

Kehadiran pemimpin-pemimpin yang mumpuni di bidangnya masing-masing, serta memiliki komitmen dan wawasan kebangsaan yang tinggi dalam upaya mewujudkan tujuan otonomi daerah tentunya sangatlah diperlukan. Pada saat ini kita berada di dalam era politik yang demokratis, dimana sistem politik ketatanegaraan, sistem pemilu, dan sistem kepartaiannya, sudah amat berbeda secara mendasar dibandingkan dengan era Orde Baru. Hal tersebut dimungkinkan karena, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami amandemen hingga tahap ke-4 pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2002 serta lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur secara lebih lanjut mengenai sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung sebagai upaya membangun dan menciptakan suasana politk yang demokratisasi di tingkat lokal.
Apabila kita cermati sistem kepartaian kita yang multipartai (banyak partai), maka terbuka peluang bagi hadirnya elite-elite (pemimpin) politik lokal maupun nasional melalui partainya masing-masing. Lembaga partai politik sengaja dirancang untuk mengoptimalkan fungsi-fungsinya, antara lain sebagai sarana agregasi politik, sarana pendidikan politik, sirkulasi elite dan perkaderan politik, manajemen konflik, serta sosialisasi dan komunikasi politik. Elite-elite politik yang ditempa oleh lembaga partai politik diharapkan dapat tampil sebagai pemimpin-pemimpin yang tangguh dan penuh wibawa mampu melakukan pendidikan politik yang bertumpu pada partisipasi politik, bukan pada mobilisasi politik atau partisipasi semata. Pendidikan politik yang tidak melulu menekankan kesadaran kritis, tetapi juga kesadaran berpolitik rakyat demi kemajuan dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peranserta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
Namun demikian, seiring dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membukakan pintu bagi hadirnya calon perseorangan di dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di seluruh Indonesia, dan hal tersebut menjadi preseden bagi diperbolehkannya calon perseorangan di dalam pemilihan presiden (pilpres), maka sumber-sumber kepemimpinan politik tidak lagi berasal dari partai-partai politik semata. Meskipun aturan dan tata cara pencalonan perseorangan belum diketahui perinciannya secara pasti, namun dibukanya calon perseorangan dalam demokrasi elektoral di Indonesia, dipastikan akan menambah situasi politik nasional dan daerah menjadi kian dinamis. Partai-partai politik, dalam konteks ini, mau tidak mau harus bekerja ekstra-keras untuk membangun kelembagaannya.

Hakikat Kepemimpinan

Berbicara tentang kepemimpinan tentunya kita akan bertanya “Apakah pemimpin (leader) itu?” Dari berbagai literatur yang ada, dapat dicatat bahwa pemimpin adalah sosok yang dengan segenap potensi dan kewenangan yang ada, mampu memotivasi, mengarahkan, dan menggerakkan orang lain untuk secara sadar dan sukarela berpartisipasi di dalam mencapai tujuan organisasi. Sedangkan kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memimpin organisasi.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang guna mempengaruhi, memotivasi, dan mengaktivasi aneka potensi dan sumber daya yang ada, sehingga organisasi yang dipimpinnya mampu berjalan secara efektif dalam rangka mengupayakan perwujudan tujuan-tujuannya (leadership is the ability of an individual to influence, motivate, and enable others to contribute toward the effectiveness and success of the organizations of which they are members). Organisasi yang dimaksud adalah organisasi yang teknis penyelenggaraannya sederhana hingga yang amat kompleks.
Secara teoritis terdapat dua pandangan mengenai pemimpin dan kepemimpinan: darimana ia berasal. Pertama, teori genetik (genetic theory), yang menyebut bahwa pemimpin dan kepemimpinan ditentukan oleh faktor genetik (turunan). Kedua, teori yang mencatat pentingnya karakter/kepribadian (traits theory). Ketiga, teori pengaruh lingkungan (behavioral theory). Benarkah pemimpin dan kepemimpinan semata ditentukan oleh faktor genetik? Tidak sepenuhnya benar. Faktor genetik memang perlu sekali, tetapi yang terpenting adalah bagaimana karakter kepemimpinan dapat hadir dalam sosok individu seorang pemimpin. Selain itu, kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan seseorang juga ditentukan oleh seberapa besar pengalaman dan persentuhannya dengan lingkungan (sosial). Oleh sebab itulah, harus dipahami bahwa setiap individu memiliki potensi kepemimpinan, yang apabila diasah dan dikembangkan, maka ia akan tampil sebagai sosok pemimpin yang mumpuni di bidangnya.
Apa saja hal-hal yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin? Setiap pemimpin harus memiliki karakter dasar dan basic values kepemimpinan. Dalam perspektif keagamaan, disebutkan adanya empat sifat/karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin yakni benar dan jujur, amanah (terpercaya), komunikator, dan cerdas.
Sifat-sifat tersebut, selaras dengan prinsip-prinsip kepemimpinan modern, di mana setiap pemimpin harus, memiliki visi, di mana seorang pemimpin adalah manusia pembelajar, memiliki ide-ide besar yang visioner dan menjadi referensi utama bagi yang dipimpin. Seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan (ability) dan kapasitas (capacity), antara lain: keahlian/kecakapan (skill) dalam berkomunikasi, memotivasi, dan yang lainnya; pengetahuan/wawasan (knowledge); pengalaman (experience); kemampuan mengembangkan pengaruh (influence); kemampuan menggalang solidaritas (Solidarity maker); serta kemampuan memecahkan masalah (decision making).
Seorang pemimpin juga harus memiliki integritas (integrity), yakni memiliki kepribadian yang utuh/berwibawa (kharisma); bijaksana (wisdom); bersikap empatik; memiliki prinsip-prinsip yang utama dalam hidupnya; menjadi panutan (kelompok referensi utama); serta, mampu mengutamakan kepentingan lebih besar, ketimbang kepentingan kecil dan sempit (negarawan). Di atas semua itu, seorang pemimpin total dalam mengerahkan segenap potensi yang ada pada dirinya untuk kemajuan organisasi (prinsip totality).
Dalam konteks untuk mewujudkan otonomi daerah dapat disimpulkan bahwa model kepemimpinan transformasional, yakni kepemimpinan yang mampu membawa organisasi kepada perubahan-perubahan dalam visi, strategi, dan budaya organisasi (kepemimpinan yang dinamis dan produktif) sangat diperlukan bagi terwujudnya cita-cita luhur dari otonomi daerah.

Kepemimpinan Lokal Yang Negarawan

Terkait dengan komitmen kepemimpinan dalam upaya untuk mewujudkan tujuan dari otonomi daerah, hal yang perlu mendapat perhatian adalah sifat kenegarawanan dari pemimpin maupun para elit politik yang terpilih melalui proses demokrasi. Istilah negarawan (statesman) merupakan istilah yang cukup populer. Secara ensiklopedis seorang negarawan biasanya merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang berprestasi (berjasa) satu negara yang telah cukup lama berkiprah dan berkarir di kancah politik nasional dan internasional (a statesman is usually a politician or other notable figure of state who has had a long and respected career in politics at national and international level). Tokoh yang berjasa (worthy) pada bangsa/negara tentu merupakan tokoh yang mengabdikan pikiran dan tenaganya bagi kemajuan dan kemakmuran bangsanya.
Terkait dengan visi otonomi daerah dalam ruang lingkup interaksi politik. Yang dipahami sebagai suatu proses untuk membuka ruang bagi lahirnya pemimpin pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Perlu adanya pengawasan atas proses ini sebagai upaya untuk menghadang kecenderungan elite politik dan pemerintahan yang yang cenderung mempertahankan kestabilan dan status quo dalam organisasi, ketimbang mempromosikan perubahan (kepemimpinan yang statis). Setidaknya ada 4 dampak positif dalam Pilkadasung yakni, pertama, meningkatkan partisipasi politik rakyat daerah. Dalam Pilkada, rakyat terlibat secara penuh untuk menentukan siapa-siapa saja kontenstan yang dianggap memiliki kredibilitas dan memiliki kapabilitas dalam memperjuangkan aspirasi mereka. Melalui proses semacam inilah rakyat akan menyadari bahwa merekalah pemegang mandat politik yang sebenarnya. Rakyat juga akan berhati-hati dalam mewakilkan mandatnya, sebab kesalahan dalam memberikan mandat akan membawa akibat buruk terhadap kehidupan mereka. Kedua, legitimasi politik. Berbeda dengan demokrasi tidak langsung yang diterapkan sebelumnya pada pemilihan kepada daerah, yakni melalui institusi tangan kedua DPRD. Maka demokrasi secara langsung memberikan dampak legitimasi yang lebih kuat terhadap kepemimpinan daerah terpilih. Sebab, dalam mekanisme pemilihan langsung ini maka kepemimpinan yang terwujud benar-benar merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih. Sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokrasi telah mendapat dukungan bagian besar masyarakat pemilih. Berbeda dengan pola demokrasi elitis berbentuk perwakilan yang justru kerap kali bersifat menelikung aspirasi mayoritas rakyat, sehingga lebih mencerminkan konfigurasi kepentingan dan aspirasi para anggota dewan sendiri. Ketiga, minimalisasi terjadinya manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong penyelenggaraan pilkadasung adalah maraknya berbagai kasus money politcs dan bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih kepala daerah. Politik money politics terjadi hampir secara merata ke seluruh daerah. Selain money politics, kecenderungan umum yang terjadi adalah politik bagi kandidat tertentu meraih kursi kekuasaan. Money politics ini bukan hanya berlangsung selama pemilihan, namun juga berkelanjutan, terutama dalam menetukan rekanan pemerintah dalam melaksanakan proyek dengan memberikan kepada jaringan pemerintah dan dewan sendiri. APBD untuk keuntungan pribadi dan kelompok, termasuk dengan melanggar ketentuan penggunaan anggaran. Banyaknya anggota DPRD yang menjadi tersangka penyelewengan dana APBD banyak muncul dari modus seperti ini.
Yang terakhir, accuntability. Accuntability untuk kepala daerah sangat penting. Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih ternyata tidak dapat menjalankan tugasnya secara baik dan bertanggungjawab, maka rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkada berikutnya dengan tidak memilihnya kembali. Bahkan dimungkinkan adanya ruang bagi masyarakat untuk melakukan semacam impeachment di tengah jalan apabila kepala daerah terpilih dianggap benar-benar mengingkari tanggungjawabnya untuk memperjuangkan aspirasi dan kesejahteraan rakyat daerah. Impeachment juga bisa digantikan menjadi semacam krisis kepercayaan berupa pembangkangan sipil.
Persoalan yang tidak kalah menariknya yang terkait dengan penyelenggaraan pilkada adalah isu putra daerah. Di beberapa wilayah, isu ini sangat rawan dan mudah menimbulkan konflik horizontal. Isu putra daerah versus pendatang, pribumi versus non pribumi, asli versus tidak asli, dalam pilkada hampir dapat dipastikan akan kembali mencuat ke permukaan. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, terutama otonomi khusus, di beberapa tempat keinginan untuk memunculkan putra daerah atau orang asli dalam kepemimpinan lokal sangat kuat.
Kepemimpinan politik yang negarawan tentu saja amat terkait dengan isu putra daerah. Kepemimpinan politik yang negarawan adalah merupakan komitmen kebangsaan dan kenegaraan, bukan semata kepemimpinan pribadi, partai, maupun kedaerahan (local). Penjelasan yang amat umum dijumpai di sini, terkait dengan kenegarawanan adalah, bahwa sikap tersebutlah yang menuntut para politisi dan untuk meminimalisasikan kepentingan pribadi dan kelompok, dan sebaliknya memaksimalisasikan kepentingan bangsa/negara yang lebih besar.
Negarawan adalah orang yang berjasa dan berkorban demi bangsa dan negaranya bahkan daerahnya, tidak memandang apa latar-belakang politiknya. Idealnya, ketika kader partai, kemudian terpilih menjadi pejabat negara, maka berlakulah adagium “ketika tugas negara dimulai, maka kepentingan politik berakhir”. Artinya, seorang pejabat negara (pemimpin) harus berkonsentrasi untuk “mengurus negara” dengan benar, walaupun tanpa harus menghapuskan identitas latar-belakang politiknya maupun asal usulnya sama sekali. Karena, identitas politik seorang politisi (negarawan) senantiasa melekat padanya. Yang penting, seorang pemimpin yang negarawan adalah yang paham betul skala prioritas: mana yang lebih didahulukan (kepentingan bangsa/negara lebih luas) dan yang tidak.
Sebagaimana dikutip dari Filosof Aristoteles, bahwa seorang negarawan memiliki karakter moral yang pasti, di mana para pengikutnya dapat meneladaninya dengan sepenuh hati. Seorang negarawan adalah yang memiliki watak yang baik dan senantiasa menjaga citra dirinya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, daerah, bangsa dan negara.

yulindra dedy

Minggu, 02 November 2008

PREDIKSI PELAKSANAAN PEMILU 2009 (Masukan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah)

Bagi bangsa ini pelaksanaan Pemilu bukanlah hal yang baru...sejak pertama kali tahun 1955 bangsa ini melaksanakan Pemilu, tentunya sudah banyak pula hal-hal yang dipelajari dan dipahami apa yang menjadi kendala selama ini. Namun dalam kenyataannya ? dalam menghadapi pesta demokrasi 5 tahunan ini, permasalahan-permasalahan yang sudah sejak dahulu diketahui dan dipahami ternyata masih saja selalu menjadi momok bagi bangsa ini. Setidaknya ada beberapa permasalahan yang selalu diperhadapkan pada bangsa ini dalam penyelenggaraan Pemilu, seperti :

1. Kurang akuratnya data pemilih,

Sepertinya bangsa ini tidak pernah belajar bagaimana mengelola sistem kependudukan yang benar..padahal sudah tidak terhitung lagi berapa kali para petinggi negara ini melakukan studi banding ke negara-nega maju bagaimana cara mengelola sistem kependudukan “one number one identify” sepertinya masih belum mampu dijalankan. Entah sampai kapan kita benar-benar mau berkomitmen keras untuk mencapai itu.. Kita sepertinya sulit keluar dari kebiasaan-kebiasaan lama yang sepertinya telah dipatenkan sendiri oleh bangsa ini.

2. Tidak memenuhi persyaratan dan permasalahan parpol internal

Pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang harusnya dilakukan selektif dan terbuka berdasar mekanisme partai, namun dalam kenyataannya penetapan caleg cenderung dilakukan secara tertutup dan mengedepankan Nepotisme dan melanggar aturan hukum. Ibarat Iklan Mobil Kijang Caleg dari Parpol-parpol diisi oleh orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan mulai dari Kakek, Nenek, Ayah, Anak, Keponakan, Cucu bahkan sampai cicit. Jika itu terus dilakukan oleh partai maka dikhawatirkan terjadi permasalahan antar kader partai yang bersangkutan dan menjadi bahan tertawaan dari masyarakat terdidik.

3. KPUD yang kurang transparan dan konsisten dalam penerapan aturan hukum sehingga menimbulkan rasa ketidakadilaan terhadap calon-calonnya,

Saya tidak menyalahkan KPU dalam hal ini, tetapi hanya mengingatkan agar penerapan aturan hukum dalam penetapan DCS, DCT, maupun hal lainnya benar-benar konsisten terhadap ketentuan yang berlaku. Lepaskan semua kepentingan politik yang ada di diri anda..Mari kita bersama-sama menyukseskan pesta demokrasi dengan sebaik-baiknya. Kita menyadari bahwa keputusan tentunya tidak akan dapat memuaskan semua pihak..akan tetapi menjadi lebih baik jika didasari atas kekonsistenan dalam penerapannya. Salah satu contoh jelas adalah masih banyaknya PNS aktif yang dimasukkan dalam DCS dan bahkan sampai ditetapkan dalam DCT...Ada apa dengan semua itu ? bukan sudah jelas ditetapkan dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu..

4. Dugaan money politics,

Pemilu 2009 lebih rawan politik uang daripada Pemilu 2004. Alasannya, pada Pemilu 2009 batas sumbangan lebih besar, standar audit lebih longgar, jumlah tenaga audit tak mencukupi.
Sehingga banyak orang memperkirakan money politic (politik uang) pada Pemilu 2009 jauh lebih buruk daripada Pemilu 2004 karena batas sumbangan untuk dana kampanye lebih tinggi, ada kelompok abu-abu yang bisa menyumbang parpol, standar audit dana kampanye lebih longgar, dan jumlah tenaga audit yang kurang. Praktik politik uang ini bisa berupa bagi-bagi uang kepada masyarakat, pencucian uang dengan masuknya uang hasil kejahatan ke politik, dan masuknya uang negara asing ke politik. Untuk itu saya sejalan dengan pemikiran bapak Rizal Malik, untuk memperkecil praktik politik uang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus membuat aturan agar parpol hanya membuat satu rekening tunggal yang bisa menerima sumbangan dana kampanye. Rekening yang bisa menerima sumbangan dana kampanye itu seharusnya rekening tunggal yang dibuat DPP parpol sehingga mudah dilacak siapa saja yang menyumbang dan berapa besar sumbangannya. Hal ini untuk menjaga terjadinya kemungkinan pula dari para pejabat-pejabat negara yang berasal dari parpol memanfaatkan kedudukannya saat ini.

5. Pelanggaran masa kampanye, dan penghitungan yang kurang akurat.

Bukan rahasia lagi jika saat ini perang atribut, baliho, spanduk sudah marak menjamur di setiap sudut kota yang memuat komitmen dan bujuk rayu untuk menarik perhatian masyarakat. Pertayaannya sekarang kemana Panwaslu, KPU, dan instansi terkait lainnya dalam melihat fenomena ini. Aturan hanya dijadikan sebagai formalitas dalam pelaksanaan suatu event sebesar Pemilu.

6. Hingga kini KPU belum menetapkan model surat suara untuk Pemilu 2009, padahal metode pemberian suaranya sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Dengan pola yang dulu telah sekian lama kita laksanakan, secara riil saja banyak terjadi kesalahan dan kerusakan apalagi dengan perubahan pola dalam Pemilu 2009 nanti, jika KPU tidak segera mengeluarkan model surat suara Pemilu 2009, maka kemungkinan kesalahan pemilih dalam cara memberikan suaranya sangat tinggi dan bisa menimbulkan permasalahan lain. Tidak itu saja, Pemilu 2009 juga masih dihadapkan pada permasalahan penetapan calon terpilih terutama bagi calon yang tidak memenuhi angka 30% Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) ditetapkan berdasar nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan bersangkutan. Hal itu, tentunya akan mengurangi makna pilihan rakyat pemilih terhadap wakilnya (sama saja menipu rakyat). Selain itu, apabila calon yang memenuhi 30% BPP lebih banyak dari perolehan kursi parpol dengan penetapan calon terpilihnya berdasar nomor urut terkecil, sehingga apabila terdapat calon yang memperoleh suara lebih banyak tetapi nomor urutnya di bawah, maka yang bersangkutan tidak bisa menjadi calon terpilih (inikan namanya pembohongan oleh para legislator yang menyepakati ditetapkannya suatu UU, karena harus kita pahami bahwa UU kita saat ini lebih banyak mewakili kepentingan-kepentingan politik mereka yang saat ini sudah merasakan nikmatnya fasilitas negara ini).

Jika tidak dari saat ini diperhatikan, sangat memungkinkan akan memunculkan permasalahan serius dalam pelaksanaan Pemilu 2009. Untuk itu baik KPU bekerja sama dengan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus melakukan konsolidasi dan pembelajaran secara komprehensif.

by. Yulindra Dedy

Total Tayangan Halaman

ARTI SAKATIK

SELAMAT DATANG DI BLOG SAKATIK.COM
KATA SAKATIK DIAMBIL DARI BAHASA DAYAK NGAJU YANG MEMILIKI ARTI "SEBAGAI PEMBIMBING" ATAU BISA DIKATAKAN SEBAGAI "MENTOR/GEMBALA" BAGI SEMUA ORANG.
MELALUI BLOG INI SEMOGA DAPAT MENJADI SEBUAH SUMBER KEBAIKAN BAGI SEMUA ORANG.