Senin, 26 Januari 2009

Refleksi 10 Tahun Otonomi Daerah (Dilema Maraknya Pemekaran Daerah)


Memasuki era otonomi daerah dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1974, Gong Otonomi daerah mulai berjalan di bumi nusantara ini. Sepuluh tahun berjalan, ada satu fenomena unik yang cukup menarik untuk menjadi perhatian kita, yaitu terkait dengan MARAKNYA PEMEKARAN DAERAH (DAERAH OTONOM BARU) di segala penjuru negeri ini.. Upaya pemerintah untuk melaksanakan MORATORIUM sepertinya mengalami jalan buntu, dan hanya sebatas pada slogan semata.

Hal ini terbukti sejak tahun 1999 hingga 2008 tercatat 203 daerah otonom baru yang menambah 312 sejak tahun 1998. Saat ini sudah berdiri 500an lebih daerah otonom baru di nusantara ini. Jumlah tersebut mungkin bisa bertambah karena masih terdapat inisiatif DPR untuk usul pembentukan DOB.

Wacana moratorium pemekaran ternyata bukanlah hal yang mudah diimplementasikan. Meski syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan sebagai syarat pemekaran telah dibuat semakin ketat berdasar PP No 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Otonom, hal tersebut tidak mampu membendung tuntutan daerah untuk melakukan pemekaran.

Ada sejumlah hal yang bisa menjelaskan mengapa moratorium pemekaran sulit dilakukan, sebagaimana disampaikan oleh Eko Prasojo. Pertama, tuntutan terhadap pemekaran adalah cara hukum mendorong pemerintah untuk mengalirkan keuangan negara ke daerah. Selama insentif keuangan berupa dana alokasi umum, dana alokasi, dan dana perimbangan lainnya dari pemerintah pusat terus mengalir ke DOB, selama itu pula tuntutan pemekaran akan terjadi. Dengan kata lain, pemekaran adalah alat bagi daerah untuk menekan pemerintah pusat agar memberikan uang kepada daerah.

Kedua, selain berdimensi keuangan negara, pemekaran memiliki dimensi politik. Pemekaran merupakan cara politik untuk memberikan ruang yang lebih besar kepada kader-kader partai politik di daerah untuk berkiprah di lembaga-lembaga perwakilan serta lembaga-lembaga pemerintahan daerah.

Pembentukan DOB jelas diikuti pembentukan sejumlah struktur dan posisi di daerah seperti kepala daerah, wakil daerah, anggota DPRD, dan posisi-posisi pemerintahan lainnya. Tidak mengherankan jika anggota DPR memiliki interes yang tinggi untuk terus membuat inisiatif RUU pemekaran.

Ketiga, pemekaran juga bisa berdimensi janji politisi kepada masyarakat di daerah pemilihannya (dapil). Apalagi menjelang pemilu, janji pemekaran akan menjadi alat kampanye yang efektif untuk mendongkrak suara dalam pemilu. Kontra opini terhadap pemekaran bisa dipandang tidak prodaerah dan tidak prorakyat.

Keempat, meski masih berupa indikasi dan masih harus dibuktikan, transaksi ekonomi politik sangat berpotensi terjadi dalam pengusulan dan inisiatif RUU pemekaran.

Kelima, tentu saja sangat legitimate untuk menyatakan bahwa dari matra luas wilayah dan jangkauan pelayanan, pemekaran adalah jalan untuk mendekatkan pelayanan sekaligus meningkatkan kemakmuran masyarakat.

Memperhatikan beberapa hal tersebut, sudah saatnya pemerintah mengambil sikap terhadap fenomena ini. Pemerintah harus berani memberhentikan dan tidak menindaklanjuti permohonan-permohonan daerah yang disampaikan melalui inisiatif DPR. Pemerintah harus berani meminta waktu untuk melakukan evaluasi terhadap daerah-daerah yang dimekarkan tersebut secara menyeluruh mengenai dampak yang ditimbulkan.


Sebagaimana dalam PP No. 6 Tahun 2008, ditegaskan Pemerintah berkewajiban mengevaluasi kinerja pemerintahan daerah atau disebut sebagai evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah (EPPD) untuk mengetahui keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam memanfaatkan hak yang diperoleh daerah dengan capaian keluaran dan hasil yang telah direncanakan. Tujuan utama dilaksanakannya evaluasi, adalah untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam upaya peningkatan kinerja untuk mendukung pencapaian tujuan penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan prinsip tata kepemerintahan yang baik. EPPD meliputi evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD), evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah (EKPOD), dan evaluasi daerah otonom baru (EDOB).

Pertanyaan adalah Bagaimana pemerintah dapat melakukan evaluasi secara menyeluruh jika pemekaran daerah otonom baru terus dibuka.. Inilah saat yang tepat bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pelaksanaan otonomi daerah..10 tahun adalah waktu yang cukup untuk pemerintah mengukur kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah (EKPOD), dan evaluasi daerah otonom baru (EDOB). Disamping itu pemerintah harus berani mengambil kebijakan untuk membuat sebuah Grand Strategy Otonomi daerah untuk memberikan gambaran tentang seberapa banyak jumlah provinsi, kabupaten/kota yang ideal harus dibentuk di nusantara ini.. Jika masih dimungkinkan untuk membentuk daerah baru, pemerintah agar membuat sebuah aturan yang jelas seperti halnya pada masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, perlu dipikirkan untuk melakukan penahapan pemekaran. Sebelum DOB dibentuk, perlu diberikan masa persiapan, misalnya, tiga tahun. Masa persiapan tersebut adalah masa pembinaan sekaligus evaluasi terhadap kesiapan daerah untuk dimekarkan. pada masa persiapan itu status daerah adalah sebagai kota administratif.

Jika setelah evaluasi, ternyata melebihi standar yang sebenarnya, pemerintah juga harus berani menghapus, atau menggabungkan kembali daerah tersebut. Kalau mau jujur sejak dibukanya kran pembentukan daerah otonom baru ini, apakah ada daerah-daerah baru ini dalam perjalanannya kemudian dihapus ataupun digabungkan kembali? Walaupun dalam kenyataannya kondisi daerah tersebut masih sangat bergantung kepada kucuran anggaran dari pemerintah. Lebih ekstrem lagi berdirinya daerah-daerah baru ini lebih karena mengakomodir kepentingan elit lokal tertentu semata. Otonomi Daerah lebih kepada proses Bagi Uang dan Kuasa saja. Satu hal lagi yang tak kalah pentingnya untuk mempermudah pengawasan terhadap usul pembentukan daerah otonom baru ini, usul dan inisiatif pemekaran hanya melalui satu pintu, yaitu melalui pemerintah.


Sepuluh tahun adalah masa yang tepat untuk pemerintah dan pemerintah daerah untuk mereflesikan kembali, merenung ulang makna dari otonomi yang sesungguhnya.. Otonomi bukan hanya berbicara tentang uang, dan kekuasaan. Otonomi adalah bagaimana bangsa ini dengan otonomi daerah mampu memberdayakan semua wilayah di negeri ini untuk bergerak maju bersama. Otonomi bukan terletak pada APA YANG DAPAT DIKERJAKAN, TETAPI BAGAIMANA PEMERINTAH DAN PEMDA mengelola hak dan kewenangan yang dimilikinya.

Tidak ada kata terlambat bagi kita jika benar-benar memiliki komitmen dan kemauan yang kuat agar negeri ini tidak jatuh lagi kepada krisis multi dimensi yang dapat meruntuhkan kepercayaan rakyat pada negara ini..

Tugas dan tanggung jawab yang harus diemban oleh pemda setelah menerima otonomi seluas-luasnya memang tidak semudah yang kita bayangkan. Yang paling penting adalah bagiamana masyarakat di daerah memiliki kepercayaan dan kolaborasi yang baik terhadap aparat pemerintah dan pemda sekarang? Mudah-mudahan pemberian otonomi daerah tidak hanya merupakan peristiwa formalisme dan ritual belaka, namun sungguh-sungguh mendatangkan iklim pembaharuan roda pemerintahan daerah yang sanggup menerima, mengisi dan memperbaiki kehidupan sosial di tengah-tengah bangsa yang sedang membangun ini!


Semoga bermanfaat..

Salam sejahtera untuk kita semua....

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

ARTI SAKATIK

SELAMAT DATANG DI BLOG SAKATIK.COM
KATA SAKATIK DIAMBIL DARI BAHASA DAYAK NGAJU YANG MEMILIKI ARTI "SEBAGAI PEMBIMBING" ATAU BISA DIKATAKAN SEBAGAI "MENTOR/GEMBALA" BAGI SEMUA ORANG.
MELALUI BLOG INI SEMOGA DAPAT MENJADI SEBUAH SUMBER KEBAIKAN BAGI SEMUA ORANG.