Rabu, 19 November 2008

KENEGARAWAN PEMIMPIN LOKAL DALAM MEWUJUDKAN TUJUAN OTONOMI DAERAH

”Ketika tugas negara dimulai, maka kepentingan politik berakhir”. Artinya, seorang pejabat negara (pemimpin) harus berkonsentrasi untuk “mengurus negara” dengan benar, walaupun tanpa harus menghapuskan identitas latar-belakang politiknya maupun asal usulnya sama sekali. Karena, identitas politik seorang politisi (negarawan) senantiasa melekat padanya."

PENGERTIAN DAN VISI OTONOMI DAERAH

Dalam kaitannya dengan hukum dan politik, otonomi daerah berarti self government atau the condition of living under one's own laws. Jadi otonomi daerah adalah daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own laws. Karena itu, otonomi lebih menitik-beratkan aspirasi daripada kondisi. Otonomi daerah juga mengandung arti kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Kemandirian, bukan berarti kesendirian, bukan pula sendiri-sendiri karena tetap bhinneka tunggal ika, melainkan untuk memecahkan masalah-masalah daerahnya sendiri tidak selalu dan terlalu menggantungkan diri kepada pemerintah pusat.
Otonomi daerah, menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, otonomi daerah pada hakikatnya adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah: penetapan kebijaksanaan sendiri, pelaksanaan sendiri, serta pembiayaan dan pertanggungjawaban daerah sendiri. Dalam makna otonomi ini daerah ditantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi. Karena itu, dalam rangka otonomi daerah diperlukan kombinasi yang efektif antara visi yang jelas serta kepemimpinan yang kuat dari pemerintah, dengan keleluasaan berprakarsa dan berkreasi pemerintah daerah. Agar dapat mengelola hak, kewenangan dan kewajiban mengurus kepentingan daerah sendiri secara mandiri dimaksud, mutlak diperlukan arahan visi, misi, tujuan dan sasaran yang jelas tentang konsep otonomi daerah.
Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama : politik, ekonomi serta sosial dan budaya. Di bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai suatu proses untuk membuka ruang bagi lahirnya pemimpin pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan responsibel terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Demokratisasi pemerintahan juga berarti transparansi kebijakan. Artinya, untuk setiap kebijakan yang diambil, harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu, apa tujuannya, berapa ongkos yang harus disiapkan, siapa yang akan diuntungkan, apa resiko yang harus ditanggung, dan siapa yang bertanggung jawab jika kebijakan itu gagal. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.
Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di lain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian, otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial di antara kelompok yang ada dalam masyarakat, serta wajib memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespons dinamika kehidupan di sekitamya.
Berdasarkan berbagai pengertian dasar dan visi otonomi daerah yang demikian, maka makna hakiki otonomi daerah sesungguhnya yang dikenal dalam sistem pemerintahan kita selama ini adalah sebagai berikut :
1. Otonomi sebagai hak (reward, diakui, dilindungi).
Definisi ini merupakan respons terhadap system pemerintahan kolonial dan kemudian sebagai ungkapan kondisi hubungan antara pusat dan daerah. Isi kebijakannya sentralistik, sebagaimana ditemukan dalam berbagai peraturan perundang¬ undangan tentang pemerintahan daerah sejak tahun 1945 sampai tahun 1974 melalui UU Nomor 5 tahun 1974.
2. Otonomi sebagai kewenangan (birokratisasi dan kewajiban), guna memperkuat posisi pusat terhadap daerah, melanjutkan birokratisasi pemerintahan dan dengan dalih demokrasi, menjadikan daerah sebagai tempat sampah semua urusan yang sarat konflik dan tidak mendatangkan sumber pendapatan sehingga meringankan beban pemerintah pusat. Batasan ini menjiwai kebijakan otonomi daerah dalam UU No. 22 tahun 1999 dan 25 tahun 1999.
3. Otonomi sebagai kesanggupan (pemberdayaan dan demokratisasi), Inilah otonomi sebagai proses pembelajaran. Masyarakat otonom dalam batas -batas kemampuan atau kesanggupannya. Pembelajaran dilakukan secara bertahap, demokratik, selektif, kondisional, tidak seragam dan tidak serentak. Karena itu, otonomi sama sekali bukan untuk meringankan beban atau tanggung jawab pemerintah pusat atas daerah. Otonomi bukan pula proses pemerataan KKN ke daerah-daerah, melainkan pemberdayaan daerah untuk mengelola sumber-cumber yang ada dengan efektif dan efisien serta mendistribusikannya demi perbaikan kualitas hidup masyarakat. Makna yang demikian sebagian sudah diakomodasi dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dengan demikian, makna otonomi daerah yang perlu dikembangkan ke depan adalah sebagai kesanggupan stakeholder pemerintahan daerah untuk mengelola cumber daya secara efektif, efisien dan bertanggung jawab demi peningkatan kualitas hidup masyarakat sehingga terwujudlah daerah otonom yang berdaya, mandiri dan sejahtera.

TUJUAN OTONOMI DAERAH

Berkenaan dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan otonomi daerah setidak-tidaknya mencakup empat aspek utama sebagai berikut. Pertama, dari segi politik, untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun mendukung politik dan kebijakan nasional dalam rangka pengembangan proses dan mekanisme demokrasi di lapisan bawah. Kedua, dari segi manajemen pemerintahan, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan publik dengan memperluas jenis¬-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat. Ketiga, dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan usaha em¬powerment masyarakat sehingga mereka makin mandiri/ self-sustainable dan tidak tergantung kepada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses pertumbuhannya. Keempat, dari segi ekonomi pembangunan ialah untuk melancarkan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peranserta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI. Hal itu berarti tujuan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan daerah dan mensejahterakan rakyat.
Berdasarkan rumusan tujuan otonomi daerah yang demikian, maka tujuan otonomi daerah yang disepakati selama ini adalah, pertama, membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga is berkesempatan mempelajari, memahami, merespons berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya serta berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategic. Kedua, proses pemberdayaan daerah. Kemampuan prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu, sehingga kapabilitas dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat dan mandiri. Dengan demikian, tujuan otonomi, daerah adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI.

KEPEMIMPINAN LOKAL DALAM MEWUJUDKAN TUJUAN OTONOMI DAERAH

Dalam upaya untuk mewujudkan tujuan dari otonomi daerah tersebut kita tentunya membutuhkan kehadiran para pemimpin, baik pemimpin formal kenegaraan maupun informal. Pemimpin merupakan pemandu, sekaligus panutan bagi yang dipimpin. Ketiadaan pemimpin membuat masyarakat menjadi kacau, berseteru satu sama lain. Kehadiran mereka amat diperlukan, untuk mempersatukan dan mengelola berbagai potensi konflik yang ada, dalam bingkai kebersamaan sehinga menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan. Karenanya, disadari, betapa tidak mudahnya menjadi pemimpin. Tidak sembarang orang dapat tampil menjadi pemimpin, kecuali melalui serangkaian ujian kepemimpinan, dari yang sederhana hingga yang rumit. Pemimpin elite yang telah teruji di tengah-tengah komunitasnya. Hal ini sangat terkait dengan Visi otonomi daerah dalam ruang lingkup interaksi politik. Karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai suatu proses untuk membuka ruang bagi lahirnya pemimpin pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan responsibel terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.

Kehadiran pemimpin-pemimpin yang mumpuni di bidangnya masing-masing, serta memiliki komitmen dan wawasan kebangsaan yang tinggi dalam upaya mewujudkan tujuan otonomi daerah tentunya sangatlah diperlukan. Pada saat ini kita berada di dalam era politik yang demokratis, dimana sistem politik ketatanegaraan, sistem pemilu, dan sistem kepartaiannya, sudah amat berbeda secara mendasar dibandingkan dengan era Orde Baru. Hal tersebut dimungkinkan karena, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami amandemen hingga tahap ke-4 pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2002 serta lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur secara lebih lanjut mengenai sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung sebagai upaya membangun dan menciptakan suasana politk yang demokratisasi di tingkat lokal.
Apabila kita cermati sistem kepartaian kita yang multipartai (banyak partai), maka terbuka peluang bagi hadirnya elite-elite (pemimpin) politik lokal maupun nasional melalui partainya masing-masing. Lembaga partai politik sengaja dirancang untuk mengoptimalkan fungsi-fungsinya, antara lain sebagai sarana agregasi politik, sarana pendidikan politik, sirkulasi elite dan perkaderan politik, manajemen konflik, serta sosialisasi dan komunikasi politik. Elite-elite politik yang ditempa oleh lembaga partai politik diharapkan dapat tampil sebagai pemimpin-pemimpin yang tangguh dan penuh wibawa mampu melakukan pendidikan politik yang bertumpu pada partisipasi politik, bukan pada mobilisasi politik atau partisipasi semata. Pendidikan politik yang tidak melulu menekankan kesadaran kritis, tetapi juga kesadaran berpolitik rakyat demi kemajuan dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peranserta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
Namun demikian, seiring dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membukakan pintu bagi hadirnya calon perseorangan di dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di seluruh Indonesia, dan hal tersebut menjadi preseden bagi diperbolehkannya calon perseorangan di dalam pemilihan presiden (pilpres), maka sumber-sumber kepemimpinan politik tidak lagi berasal dari partai-partai politik semata. Meskipun aturan dan tata cara pencalonan perseorangan belum diketahui perinciannya secara pasti, namun dibukanya calon perseorangan dalam demokrasi elektoral di Indonesia, dipastikan akan menambah situasi politik nasional dan daerah menjadi kian dinamis. Partai-partai politik, dalam konteks ini, mau tidak mau harus bekerja ekstra-keras untuk membangun kelembagaannya.

Hakikat Kepemimpinan

Berbicara tentang kepemimpinan tentunya kita akan bertanya “Apakah pemimpin (leader) itu?” Dari berbagai literatur yang ada, dapat dicatat bahwa pemimpin adalah sosok yang dengan segenap potensi dan kewenangan yang ada, mampu memotivasi, mengarahkan, dan menggerakkan orang lain untuk secara sadar dan sukarela berpartisipasi di dalam mencapai tujuan organisasi. Sedangkan kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memimpin organisasi.
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang guna mempengaruhi, memotivasi, dan mengaktivasi aneka potensi dan sumber daya yang ada, sehingga organisasi yang dipimpinnya mampu berjalan secara efektif dalam rangka mengupayakan perwujudan tujuan-tujuannya (leadership is the ability of an individual to influence, motivate, and enable others to contribute toward the effectiveness and success of the organizations of which they are members). Organisasi yang dimaksud adalah organisasi yang teknis penyelenggaraannya sederhana hingga yang amat kompleks.
Secara teoritis terdapat dua pandangan mengenai pemimpin dan kepemimpinan: darimana ia berasal. Pertama, teori genetik (genetic theory), yang menyebut bahwa pemimpin dan kepemimpinan ditentukan oleh faktor genetik (turunan). Kedua, teori yang mencatat pentingnya karakter/kepribadian (traits theory). Ketiga, teori pengaruh lingkungan (behavioral theory). Benarkah pemimpin dan kepemimpinan semata ditentukan oleh faktor genetik? Tidak sepenuhnya benar. Faktor genetik memang perlu sekali, tetapi yang terpenting adalah bagaimana karakter kepemimpinan dapat hadir dalam sosok individu seorang pemimpin. Selain itu, kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan seseorang juga ditentukan oleh seberapa besar pengalaman dan persentuhannya dengan lingkungan (sosial). Oleh sebab itulah, harus dipahami bahwa setiap individu memiliki potensi kepemimpinan, yang apabila diasah dan dikembangkan, maka ia akan tampil sebagai sosok pemimpin yang mumpuni di bidangnya.
Apa saja hal-hal yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin? Setiap pemimpin harus memiliki karakter dasar dan basic values kepemimpinan. Dalam perspektif keagamaan, disebutkan adanya empat sifat/karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin yakni benar dan jujur, amanah (terpercaya), komunikator, dan cerdas.
Sifat-sifat tersebut, selaras dengan prinsip-prinsip kepemimpinan modern, di mana setiap pemimpin harus, memiliki visi, di mana seorang pemimpin adalah manusia pembelajar, memiliki ide-ide besar yang visioner dan menjadi referensi utama bagi yang dipimpin. Seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan (ability) dan kapasitas (capacity), antara lain: keahlian/kecakapan (skill) dalam berkomunikasi, memotivasi, dan yang lainnya; pengetahuan/wawasan (knowledge); pengalaman (experience); kemampuan mengembangkan pengaruh (influence); kemampuan menggalang solidaritas (Solidarity maker); serta kemampuan memecahkan masalah (decision making).
Seorang pemimpin juga harus memiliki integritas (integrity), yakni memiliki kepribadian yang utuh/berwibawa (kharisma); bijaksana (wisdom); bersikap empatik; memiliki prinsip-prinsip yang utama dalam hidupnya; menjadi panutan (kelompok referensi utama); serta, mampu mengutamakan kepentingan lebih besar, ketimbang kepentingan kecil dan sempit (negarawan). Di atas semua itu, seorang pemimpin total dalam mengerahkan segenap potensi yang ada pada dirinya untuk kemajuan organisasi (prinsip totality).
Dalam konteks untuk mewujudkan otonomi daerah dapat disimpulkan bahwa model kepemimpinan transformasional, yakni kepemimpinan yang mampu membawa organisasi kepada perubahan-perubahan dalam visi, strategi, dan budaya organisasi (kepemimpinan yang dinamis dan produktif) sangat diperlukan bagi terwujudnya cita-cita luhur dari otonomi daerah.

Kepemimpinan Lokal Yang Negarawan

Terkait dengan komitmen kepemimpinan dalam upaya untuk mewujudkan tujuan dari otonomi daerah, hal yang perlu mendapat perhatian adalah sifat kenegarawanan dari pemimpin maupun para elit politik yang terpilih melalui proses demokrasi. Istilah negarawan (statesman) merupakan istilah yang cukup populer. Secara ensiklopedis seorang negarawan biasanya merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang berprestasi (berjasa) satu negara yang telah cukup lama berkiprah dan berkarir di kancah politik nasional dan internasional (a statesman is usually a politician or other notable figure of state who has had a long and respected career in politics at national and international level). Tokoh yang berjasa (worthy) pada bangsa/negara tentu merupakan tokoh yang mengabdikan pikiran dan tenaganya bagi kemajuan dan kemakmuran bangsanya.
Terkait dengan visi otonomi daerah dalam ruang lingkup interaksi politik. Yang dipahami sebagai suatu proses untuk membuka ruang bagi lahirnya pemimpin pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Perlu adanya pengawasan atas proses ini sebagai upaya untuk menghadang kecenderungan elite politik dan pemerintahan yang yang cenderung mempertahankan kestabilan dan status quo dalam organisasi, ketimbang mempromosikan perubahan (kepemimpinan yang statis). Setidaknya ada 4 dampak positif dalam Pilkadasung yakni, pertama, meningkatkan partisipasi politik rakyat daerah. Dalam Pilkada, rakyat terlibat secara penuh untuk menentukan siapa-siapa saja kontenstan yang dianggap memiliki kredibilitas dan memiliki kapabilitas dalam memperjuangkan aspirasi mereka. Melalui proses semacam inilah rakyat akan menyadari bahwa merekalah pemegang mandat politik yang sebenarnya. Rakyat juga akan berhati-hati dalam mewakilkan mandatnya, sebab kesalahan dalam memberikan mandat akan membawa akibat buruk terhadap kehidupan mereka. Kedua, legitimasi politik. Berbeda dengan demokrasi tidak langsung yang diterapkan sebelumnya pada pemilihan kepada daerah, yakni melalui institusi tangan kedua DPRD. Maka demokrasi secara langsung memberikan dampak legitimasi yang lebih kuat terhadap kepemimpinan daerah terpilih. Sebab, dalam mekanisme pemilihan langsung ini maka kepemimpinan yang terwujud benar-benar merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih. Sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokrasi telah mendapat dukungan bagian besar masyarakat pemilih. Berbeda dengan pola demokrasi elitis berbentuk perwakilan yang justru kerap kali bersifat menelikung aspirasi mayoritas rakyat, sehingga lebih mencerminkan konfigurasi kepentingan dan aspirasi para anggota dewan sendiri. Ketiga, minimalisasi terjadinya manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong penyelenggaraan pilkadasung adalah maraknya berbagai kasus money politcs dan bentuk kecurangan lainnya dalam praktek pemilihan kepala daerah yang selama ini terjadi. Intervensi pemerintah memang dapat diminimalisasi dalam pilkada selama 4 tahun otonomi daerah dilangsungkan. Namun bandul permasalahan kini malah berayun ke tubuh lembaga perwakilan daerah yang diberi kewenangan memilih kepala daerah. Politik money politics terjadi hampir secara merata ke seluruh daerah. Selain money politics, kecenderungan umum yang terjadi adalah politik bagi kandidat tertentu meraih kursi kekuasaan. Money politics ini bukan hanya berlangsung selama pemilihan, namun juga berkelanjutan, terutama dalam menetukan rekanan pemerintah dalam melaksanakan proyek dengan memberikan kepada jaringan pemerintah dan dewan sendiri. APBD untuk keuntungan pribadi dan kelompok, termasuk dengan melanggar ketentuan penggunaan anggaran. Banyaknya anggota DPRD yang menjadi tersangka penyelewengan dana APBD banyak muncul dari modus seperti ini.
Yang terakhir, accuntability. Accuntability untuk kepala daerah sangat penting. Sebab, apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih ternyata tidak dapat menjalankan tugasnya secara baik dan bertanggungjawab, maka rakyat akan memberikan sanksi dalam pilkada berikutnya dengan tidak memilihnya kembali. Bahkan dimungkinkan adanya ruang bagi masyarakat untuk melakukan semacam impeachment di tengah jalan apabila kepala daerah terpilih dianggap benar-benar mengingkari tanggungjawabnya untuk memperjuangkan aspirasi dan kesejahteraan rakyat daerah. Impeachment juga bisa digantikan menjadi semacam krisis kepercayaan berupa pembangkangan sipil.
Persoalan yang tidak kalah menariknya yang terkait dengan penyelenggaraan pilkada adalah isu putra daerah. Di beberapa wilayah, isu ini sangat rawan dan mudah menimbulkan konflik horizontal. Isu putra daerah versus pendatang, pribumi versus non pribumi, asli versus tidak asli, dalam pilkada hampir dapat dipastikan akan kembali mencuat ke permukaan. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, terutama otonomi khusus, di beberapa tempat keinginan untuk memunculkan putra daerah atau orang asli dalam kepemimpinan lokal sangat kuat.
Kepemimpinan politik yang negarawan tentu saja amat terkait dengan isu putra daerah. Kepemimpinan politik yang negarawan adalah merupakan komitmen kebangsaan dan kenegaraan, bukan semata kepemimpinan pribadi, partai, maupun kedaerahan (local). Penjelasan yang amat umum dijumpai di sini, terkait dengan kenegarawanan adalah, bahwa sikap tersebutlah yang menuntut para politisi dan untuk meminimalisasikan kepentingan pribadi dan kelompok, dan sebaliknya memaksimalisasikan kepentingan bangsa/negara yang lebih besar.
Negarawan adalah orang yang berjasa dan berkorban demi bangsa dan negaranya bahkan daerahnya, tidak memandang apa latar-belakang politiknya. Idealnya, ketika kader partai, kemudian terpilih menjadi pejabat negara, maka berlakulah adagium “ketika tugas negara dimulai, maka kepentingan politik berakhir”. Artinya, seorang pejabat negara (pemimpin) harus berkonsentrasi untuk “mengurus negara” dengan benar, walaupun tanpa harus menghapuskan identitas latar-belakang politiknya maupun asal usulnya sama sekali. Karena, identitas politik seorang politisi (negarawan) senantiasa melekat padanya. Yang penting, seorang pemimpin yang negarawan adalah yang paham betul skala prioritas: mana yang lebih didahulukan (kepentingan bangsa/negara lebih luas) dan yang tidak.
Sebagaimana dikutip dari Filosof Aristoteles, bahwa seorang negarawan memiliki karakter moral yang pasti, di mana para pengikutnya dapat meneladaninya dengan sepenuh hati. Seorang negarawan adalah yang memiliki watak yang baik dan senantiasa menjaga citra dirinya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, daerah, bangsa dan negara.

yulindra dedy

Minggu, 02 November 2008

PREDIKSI PELAKSANAAN PEMILU 2009 (Masukan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah)

Bagi bangsa ini pelaksanaan Pemilu bukanlah hal yang baru...sejak pertama kali tahun 1955 bangsa ini melaksanakan Pemilu, tentunya sudah banyak pula hal-hal yang dipelajari dan dipahami apa yang menjadi kendala selama ini. Namun dalam kenyataannya ? dalam menghadapi pesta demokrasi 5 tahunan ini, permasalahan-permasalahan yang sudah sejak dahulu diketahui dan dipahami ternyata masih saja selalu menjadi momok bagi bangsa ini. Setidaknya ada beberapa permasalahan yang selalu diperhadapkan pada bangsa ini dalam penyelenggaraan Pemilu, seperti :

1. Kurang akuratnya data pemilih,

Sepertinya bangsa ini tidak pernah belajar bagaimana mengelola sistem kependudukan yang benar..padahal sudah tidak terhitung lagi berapa kali para petinggi negara ini melakukan studi banding ke negara-nega maju bagaimana cara mengelola sistem kependudukan “one number one identify” sepertinya masih belum mampu dijalankan. Entah sampai kapan kita benar-benar mau berkomitmen keras untuk mencapai itu.. Kita sepertinya sulit keluar dari kebiasaan-kebiasaan lama yang sepertinya telah dipatenkan sendiri oleh bangsa ini.

2. Tidak memenuhi persyaratan dan permasalahan parpol internal

Pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang harusnya dilakukan selektif dan terbuka berdasar mekanisme partai, namun dalam kenyataannya penetapan caleg cenderung dilakukan secara tertutup dan mengedepankan Nepotisme dan melanggar aturan hukum. Ibarat Iklan Mobil Kijang Caleg dari Parpol-parpol diisi oleh orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan mulai dari Kakek, Nenek, Ayah, Anak, Keponakan, Cucu bahkan sampai cicit. Jika itu terus dilakukan oleh partai maka dikhawatirkan terjadi permasalahan antar kader partai yang bersangkutan dan menjadi bahan tertawaan dari masyarakat terdidik.

3. KPUD yang kurang transparan dan konsisten dalam penerapan aturan hukum sehingga menimbulkan rasa ketidakadilaan terhadap calon-calonnya,

Saya tidak menyalahkan KPU dalam hal ini, tetapi hanya mengingatkan agar penerapan aturan hukum dalam penetapan DCS, DCT, maupun hal lainnya benar-benar konsisten terhadap ketentuan yang berlaku. Lepaskan semua kepentingan politik yang ada di diri anda..Mari kita bersama-sama menyukseskan pesta demokrasi dengan sebaik-baiknya. Kita menyadari bahwa keputusan tentunya tidak akan dapat memuaskan semua pihak..akan tetapi menjadi lebih baik jika didasari atas kekonsistenan dalam penerapannya. Salah satu contoh jelas adalah masih banyaknya PNS aktif yang dimasukkan dalam DCS dan bahkan sampai ditetapkan dalam DCT...Ada apa dengan semua itu ? bukan sudah jelas ditetapkan dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu..

4. Dugaan money politics,

Pemilu 2009 lebih rawan politik uang daripada Pemilu 2004. Alasannya, pada Pemilu 2009 batas sumbangan lebih besar, standar audit lebih longgar, jumlah tenaga audit tak mencukupi.
Sehingga banyak orang memperkirakan money politic (politik uang) pada Pemilu 2009 jauh lebih buruk daripada Pemilu 2004 karena batas sumbangan untuk dana kampanye lebih tinggi, ada kelompok abu-abu yang bisa menyumbang parpol, standar audit dana kampanye lebih longgar, dan jumlah tenaga audit yang kurang. Praktik politik uang ini bisa berupa bagi-bagi uang kepada masyarakat, pencucian uang dengan masuknya uang hasil kejahatan ke politik, dan masuknya uang negara asing ke politik. Untuk itu saya sejalan dengan pemikiran bapak Rizal Malik, untuk memperkecil praktik politik uang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus membuat aturan agar parpol hanya membuat satu rekening tunggal yang bisa menerima sumbangan dana kampanye. Rekening yang bisa menerima sumbangan dana kampanye itu seharusnya rekening tunggal yang dibuat DPP parpol sehingga mudah dilacak siapa saja yang menyumbang dan berapa besar sumbangannya. Hal ini untuk menjaga terjadinya kemungkinan pula dari para pejabat-pejabat negara yang berasal dari parpol memanfaatkan kedudukannya saat ini.

5. Pelanggaran masa kampanye, dan penghitungan yang kurang akurat.

Bukan rahasia lagi jika saat ini perang atribut, baliho, spanduk sudah marak menjamur di setiap sudut kota yang memuat komitmen dan bujuk rayu untuk menarik perhatian masyarakat. Pertayaannya sekarang kemana Panwaslu, KPU, dan instansi terkait lainnya dalam melihat fenomena ini. Aturan hanya dijadikan sebagai formalitas dalam pelaksanaan suatu event sebesar Pemilu.

6. Hingga kini KPU belum menetapkan model surat suara untuk Pemilu 2009, padahal metode pemberian suaranya sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Dengan pola yang dulu telah sekian lama kita laksanakan, secara riil saja banyak terjadi kesalahan dan kerusakan apalagi dengan perubahan pola dalam Pemilu 2009 nanti, jika KPU tidak segera mengeluarkan model surat suara Pemilu 2009, maka kemungkinan kesalahan pemilih dalam cara memberikan suaranya sangat tinggi dan bisa menimbulkan permasalahan lain. Tidak itu saja, Pemilu 2009 juga masih dihadapkan pada permasalahan penetapan calon terpilih terutama bagi calon yang tidak memenuhi angka 30% Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) ditetapkan berdasar nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan bersangkutan. Hal itu, tentunya akan mengurangi makna pilihan rakyat pemilih terhadap wakilnya (sama saja menipu rakyat). Selain itu, apabila calon yang memenuhi 30% BPP lebih banyak dari perolehan kursi parpol dengan penetapan calon terpilihnya berdasar nomor urut terkecil, sehingga apabila terdapat calon yang memperoleh suara lebih banyak tetapi nomor urutnya di bawah, maka yang bersangkutan tidak bisa menjadi calon terpilih (inikan namanya pembohongan oleh para legislator yang menyepakati ditetapkannya suatu UU, karena harus kita pahami bahwa UU kita saat ini lebih banyak mewakili kepentingan-kepentingan politik mereka yang saat ini sudah merasakan nikmatnya fasilitas negara ini).

Jika tidak dari saat ini diperhatikan, sangat memungkinkan akan memunculkan permasalahan serius dalam pelaksanaan Pemilu 2009. Untuk itu baik KPU bekerja sama dengan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus melakukan konsolidasi dan pembelajaran secara komprehensif.

by. Yulindra Dedy

Selasa, 28 Oktober 2008

DOA YANG INDAH


Aku meminta kepada Tuhan
untuk menyingkirkan penderitaanku.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Itu bukan untuk Kusingkirkan,
tetapi agar kau mengalahkannya".

Aku meminta kepada Tuhan
untuk menyempurnakan kecacatanku.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Jiwa adalah sempurna,
badan hanyalah sementara".

Aku meminta kepada Tuhan
untuk menghadiahkanku kesabaran.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Kesabaran adalah hasil dari kesulitan;
itu tidak dihadiahkan, itu harus
dipelajari".

Aku meminta kepada Tuhan
untuk memberiku kebahagiaan.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Aku memberimu berkat.
Kebahagiaan adalah tergantung
padamu".

Aku meminta kepada Tuhan
untuk menjauhkan penderitaan.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Penderitaan mejauhkanmu
dari perhatian duniawi dan
membawamu mendekat
padaKu".

Aku meminta kepada Tuhan
untuk menumbuhkan rohku.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Kau harus menumbuhkannya sendiri,
tetapi Aku akan memangkas
untuk membuatmu berbuah".

Aku meminta kepada Tuhan
segala hal sehingga aku dapat
menikmati hidup.
Tuhan menjawab, Tidak.
"Aku akan memberimu hidup,
sehingga kau dapat menikmati
segala hal".

Aku meminta kepada Tuhan
membantuku mengasihi orang lain,
seperti Ia mengasihiku.
Tuhan menjawab..
"Ahhh, akhirnya kau mengerti".

HARI INI ADALAH MILIKMU JANGAN SIA-SIAKAN

Rabu, 22 Oktober 2008

HUBUNGAN PEMERINTAHAN PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DARI ASPEK KEWENANGAN (DALAM KORIDOR UU NO.32 TAHUN 2004)

I. LANDASAN KONSEPSI

Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi NKRI. Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai desentralisasi. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat Negara. Artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-¬kesatuan pemerintahan regional atau lokal. Sementara itu nilai dasar desentralisasi diwujudkan dengan pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan atau diakui Sebagai domain rumah tangga daerah otonom tersebut.

Dikaitkan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan pola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini karena dalam penyelenggaraan desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-¬bagian tertentu urusan pemerintahan.
Sesuai UUD 1945, karena Indonesia adalah "Eenheidstaat", maka di dalam lingkungannya tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat staat juga. Ini berarti bahwa sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara. Dengan demikian pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki ciri¬-ciri :
a) Daerah Otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal; b)Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atas urusan pemerintahan; c) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada butir b; tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Dengan demikian jelaslah bahwa desentralisasi merupakan instrumen untuk mencapai tujuan bernegara dalam kerangka kesatuan bangsa (national unity) yang demokratis (democratic government). Dalam konteks UUD 1945, selalu harus diperhatikan keseimbangan antara kebutuhan untuk menyelenggarakan desentralisasi dengan kebutuhan memperkuat kesatuan nasional.
Oleh sebab itu ciri umum penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia sesuai dengan UUD 1945 adalah :
1) Pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan oleh Pemerintah, bahkan dapat dihapus oleh Pemerintah melalui proses hukum apabila daerah tidak mampu menjalankan otonominya setelah melalui fasilitasi pemberdayaan; 2) Dalam rangka desentralisasi, di wilayah Indonesia dibentuk Provinsi dan di wilayah Provinsi dibentuk Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom; 3) Sebagai konsekuensi ciri butir 1 dan 2, maka kebijakan desentralisasi disusun dan dirumuskan oleh Pemerintah, sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan melibatkan masyarakat sebagai cerminan pemerintahan yang demokratis; 4) Hubungan antara pemerintah daerah otonom dengan pemerintah nasional (Pusat) adalah bersifat tergantung (dependent) dan bawahan (sub¬ordinate). Hal ini berbeda dengan hubungan antara pemerintah negara bagian dengan pemerintah federal yang menganut prinsip federalisme, yang sifatnya independent dan koordinatif; 5) Penyelenggaraan desentralisasi menuntut persebaran urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi Lembaga Negara yang membidangi legislatif atau lembaga pembentuk Undang-Undang dan yudikatif ataupun lembaga Negara yang berwenang mengawasi keuangan Negara. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang di desentralisasikan menjadi kewenangan Kepala Daerah dan DPRD untuk melaksanakannya sesuai dengan mandat yang diberikan rakyat.

Persebaran urusan pemerintahan ini memiliki dua prinsip pokok :
a) Selalu terdapat urusan pemerintahan yang umumnya secara universal tidak dapat diserahkan kepada daerah karena menyangkut kepentingan kelangsungan hidup bangsa dan negara seperti urusan pertahanan-keamanan, politik luar negeri, moneter, dan peradilan; b) Tidak ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah. Untuk urusan¬-urusan pemerintahan yang berkaitan kepentingan lokal, regional dan nasional dilaksanakan secara bersama (concurrent). Ini berarti ada bagian-bagian dari urusan pemerintahan tertentu yang dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, ada bagian-bagian yang diselenggarakan oleh Provinsi dan bahkan ada juga yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Diperlukan adanya hubungan koordinasi antar tingkatan pemerintahan agar urusan-urusan pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut dapat terselenggara secara optimal.

Mengingat urusan pemerintahan bersifat dinamis maka dalam penyerahan urusan pemerintahan tersebut selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Untuk menjamin kepastian, perubahan-perubahan tersebut perlu didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu selalu ada dinamika dalam distribusi urusan pemerintahan (inter-governmental function sharing) antar tingkatan pemerintahan; Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat.

Secara universal terdapat dua pola besar dalam merumuskan distribusi urusan pemerintahan, yakni :
(1) pola-general competence (otonomi luas) dan
(2) pola ultra vires (otonomi terbatas).

Dalam pola otonomi luas dirumuskan bahwa urusan-¬urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam prinsip Ultra Vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pusat.

Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah Provinsi dipimpin oleh Kepala Daerah Provinsi yang disebut Gubernur yang juga bertindak sebagai wakil Pusat di Daerah. Sebagai wakil Pemerintah di Daerah, Gubernur melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas (capacity building) terhadap Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya agar otonomi daerah Kabupaten/Kota tersebut bisa berjalan secara optimal. Sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur juga melaksanakan urusan-urusan nasional yang tidak termasuk dalam otonomi daerah dan tidak termasuk urusan instansi vertikal di wilayah Provinsi yang bersangkutan. Disamping itu, sebagai wakil Pemerintah di daerah, Gubernur mempunyai peranan selaku "Integrated Field Administration" yang berwenang mengkoordinir semua instansi vertikal yang ada di Provinsi yang bersangkutan disamping melakukan supervisi dan fasilitasi terhadap Kabupaten/ Kota yang ada di wilayahnya.
Gubernur mempunyai "Tutelage Power" yaitu menjalankan kewenangan Pusat untuk membatalkan kebijakan Daerah bawahannya yang bertentangan dengan kepentingan umum ataupun peraturan perundangan yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut maka diperlukan pengaturan yang sistematis yang menggambarkan adanya kewenangan Gubernur yang berkaitan dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan.
Selain urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara sentralisasi, terdapat urusan pemerintahan yang diselenggarakan secara desentralisasi. Desentralisasi dalam arti lugs dapat dilakukan secara devolusi, dekonsentrasi, privatisasi dan delegasi (Rondinelli & Cheema, 1983). Pemahaman devolusi di Indonesia mengacu kepada desentralisasi sedangkan delegasi terkait dengan pembentukan lembaga semi pemerintah (Quasi Government Organisation/Quango) yang mendapatkan delegasi Pemerintah untuk mengerjakan suatu urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah (Muthallib & Khan, 1980). Lembaga yang terbentuk berdasarkan prinsip delegasi dapat berbentuk Badan Otorita, Badan Usaha Milik Negara, Batan, LEN, Bakosurtanal dsb.
Dalam konsep otonomi luas, maka urusan pemerintahan yang tersisa di Daerah (residual functions) atau Tugas Pemerintah lainnya yang belum ditangani dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Hal inilah yang sering dikelompokkan dalam pelaksanaan azas vrisj bestuur. Vrisj Bestuur yang bersifat lintas Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Propinsi sedangkan yang lokal menjadi kewenangan Kabupaten/ Kota. Konsep privatisasi berimplikasi pada dilaksanakannya sebagian fungsi-fungsi yang sebelumnya merupakan kewenangan Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah oleh pihak swasta. Variant lainnya dari privatisasi adalah terbukanya kemungkinan kemitraan (partnership) antara pihak Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan pihak swasta dalam bentuk Built Operate Own (BOO), Built Operate Transfer (BOT), management contracting out dsb.

Penyelenggaraan tugas pembantuan (Medebewind) diwujudkan dalam bentuk penugasan oleh pemerintah pusat kepada Daerah atau Desa atau oleh Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan Desa untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan. Pembiayaan dan dukungan sarana diberikan oleh yang menugaskan sedangkan yang menerima penugasan wajib untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas tersebut kepada yang menugaskan.

Penyelenggaraan Pemerintahan Nasional dilaksanakan oleh Departemen dan Kementrian Negara serta LPND. Untuk melaksanakan kewenangan Pusat di Daerah digunakan alas dekonsentrasi yang dilaksanakan oleh instansi vertikal balk yang wilayah yurisdiksinya mencakup satu wilayah kerja daerah otonom maupun mencakup beberapa wilayah kerja daerah otonom seperti adanya KODAM, POLDA, Kejaksaan, Badan Otorita Pusat di Daerah dan lain-lainnya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD yang bekerja atas dasar kemitraan dan bukan membawahkan satu sama lainnya. Dalam menyusun dan merumuskan kebijakan daerah, kedua institusi tersebut bekerjasama dengan semangat kemitraan. Namun pada saat pelaksanaan (implementasi), kedua institusi memiliki fungsi yang berbeda. Kepala Daerah melaksanakan kebijakan Daerah dan DPRD melakukan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan daerah. Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) diadopsi prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif, efisien, transparan, demokratis, partisipatif, dan akuntabel. Oleh sebab itu hubungan antar Kepala Daerah, DPRD, dan masyarakat daerah dalam rangka checks and balances menjadi kebutuhan mutlak.

Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi salah sate ciri penting pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini karena karakteristik sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia yang sangat beragam dari satu daerah dengan daerah yang lain. Sebagai perwujudan nilai dasar konstitusi maka diperlukan pengaturan tentang pembagian hasil atas pengelolaan sumber daya alam, buatan maupun atas basil kegiatan perekonomian lainnya yang intinya untuk memperlancar pelaksanaan otonomi daerah, dan pada saat yang sama memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu tujuan politik sebagai refleksi dari proses demokratisasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan politik akan memposisikan Pemda sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal yang pada gilirannya secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan kesejahteraan akan memposisikan Pemda sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Pelayanan yang disediakan Pemda kepada masyarakat ada yang bersifat regulative (public regulations) seperti mewajibkan penduduk untuk mempunyai KTP, KK, IMB dan sebagainya. Sedangkan bentuk pelayanan lainnya adalah yang bersifat penyediaan public goods yaitu barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, rumah sakit, terminal dan sebagainya. Apapun barang dan regulasi yang disediakan oleh Pemda haruslah menjawab kebutuhan rid warganya. Tanpa itu, Pemda akan kesulitan dalam memberikan akuntabilitas atas legitimasi yang telah diberikan warga kepada Pemda untuk mengatur dan mengurus masyarakat. Untuk itulah maka seluas apapun otonomi atau kewenangan yang dilaksanakan oleh Daerah, kewenangan itu tetap ada batas--batasnya, yaitu rambu-rambu berupa pedoman dan arahan, serta kendali dari Pemerintah, balk berupa UU, PP, atau kebijakan lainnya.

Disamping itu haruslah kewenangan tersebut berkorelasi dengan kebutuhan nil masyarakat. Kewenangan tersebut yang memungkinkan Daerah mampu memberikan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Argumen inilah yang menjadi dasar kenapa urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dikelompokkan menjadi dua yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib berkorelasi dengan penyediaan pelayanan dasar dan urusan pilihan terkait dengan pengembangan potensi unggulan yang menjadi ke-khas-an daerah yang bersangkutan.

Dari tujuan demokratisasi dan kesejahteraan diatas, maka misi utama dari keberadaan Pemda adalah bagaimana mensejahterakan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektip, efisien dan ekonomis serta melalui cara¬cara yang demokratis. Untuk mampu menyediakan pelayanan publik yang optimal dan mempunyai kepastian maka untuk penyediaan pelayanan dasar diperlukan adanya Standard Pelayanan Minimum (SPM). SPM yang menjadi "benchmark" bagi Pemda dalam mengatur aspek kelembagaan, personil, keuangan, dan mengukur kinerja dalam penyediaan pelayanan publik. Sisi demokratisasi pada Pemda berimplikasi bahwa Pemda dijalankan oleh masyarakat daerah sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis. Dalam menjalankan misinya untuk mensejahterakan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta mengagregasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam kebijakan¬-kebijakan publik di tingkat lokal. Namun kebijakan publik di tingkat lokal tidak boleh bertentangan dengan kebijakan publik nasional dan diselenggarakan dalam koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang berlaku pada negara dan bangsa tersebut.

II. HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH

Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat dilihat dari Adanya hubungan dalam penye¬lenggaraan pemerintahan; Kebijakan desentralisasi dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. Peran Pusat dalam kerangka otonomi Daerah akan banyak bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity building) agar Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standard dan prosedur yang ditentukan Pusat.

Hubungan dan Distribusi Kewenangan.

Daerah Otonom diberi wewenang untuk mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Seluas apapun Otonomi Daerah, tetap ada dalam batas dan ruang lingkup wewenang Pemerintah. Pemerintah Pusat yang mengatur hubungan antara Pusat dan Daerah yang dituangkan dalam Peraturan Perundangan yang bersifat mengikat kedua belah pihak. Namun dalam pengaturan hubungan tersebut haruslah memperhatikan aspirasi Daerah sehingga tercipta sinerji antara kepentingan Pusat dan Daerah. Agar terwujud distribusi kewenangan mengelola urusan pemerintahan yang efisien dan efektip antar tingkatan pemerintahan, maka distribusi kewenangan mengacu pada kriteria sebagai berikut:
a) Externalitas; unit pemerintahan yang terkena dampak langsung dari pelaksanaan suatu urusan pemerintahan, mempunyai kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan tersebut; b) Akuntabilitas; unit pemerintahan yang berwenang mengurus suatu urusan pemerintahan adalah unit pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan urusan tersebut. Ini terkait dengan pertanggung jawaban (akuntabilitas) dari pengelolaan urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat yang menerima dampak langsung dari urusan tersebut. Urusan lokal akan menjadi kewajiban Kabupaten/ Kota untuk mempertanggung jawabkan dampaknya. Urusan yang berdampak regional akan menjadi tanggung jawab Provinsi dan urusan yang berdampak nasional akan menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat; c) Efisiensi; pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan rakyat.

Untuk itu pemberian kewenangan kepada Daerah untuk mengurus suatu urusan pemerintahan janganlah sampai menciptakan in-efiensi atau high cost economy. Untuk mencapai efisiensi maka diperlukan skala ekonomi (econimies of scale) dalam pelaksanaannya. Pencapaian skala ekonomi terkait dengan luasan cakupan wilayah
(catchment area) dimana urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan.

Untuk mencapai skala ekonomi tersebut, maka perlu dilakukan kerjasama antar daerah untuk optimalisasi pembiayaan dari penyelenggaraan urusan tersebut.
Dalam penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan tersebut terdapat adanya inter-koneksi dan inter-dependensi karena keterkaitan dari urusan pemerintahan tersebut sebagai suatu "system". Urusan yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan berjalan optimal apabila tidak terkait (inter¬koneksi) dengan Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Demikian juga sebaliknya. Untuk itu maka diperlukan adanya koordinasi untuk menciptakan sinerji dalam melaksanakan kewenangan mengelola urusan-urusan tersebut. Namun demikian setiap tingkatan pemerintahan mempunyai kewenangan penuh (independensi) untuk mengelola urusan pemerintahan yang menjadi domain kewenangannya. Sebagai ilustrasi; jalan negara yang menjadi kewenangan Pusat tidak akan optimal apabila tidak terkait dengan jalan Provinsi yang menjadi kewenangan Provinsi menggelolanya. Jalan Provinsi juga tidak akan optimal apabila t:dak terkait dengan jalan Kabupaten/Kota. Secara keseluruhan jaringan jalan tersebut merupakan suatu "sistem jalan" yang didukung oleh sub sistem jalan Negara, Plan Provinsi clan jalan Kabupaten/Kota. Setiap tingkatan pemerintahan tersebut mempunyai kewenangan penuh (independent) untuk mengelola " jalan" yang menjadi domain kewenangannya. Namun dalam menjalankan kewenangannya masing-¬masing, harus ada koordinasi diantara ketiga tingkatan pemerintahan tersebut, agar jalan sebagai suatu sistem dapat berfungsi secara optimal.

Hubungan kewenangan antara daerah otonom Provinsi dengan daerah otonom
Kabupaten/Kota tidaklah hirarkhis. Provinsi mempunyai kewenangan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang bersifat antar Kabupaten/Kota (regional) yang berdampak regional. Sedangkan Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan menangani urusan-urusan pemerintahan yang berskala lokal yang dampaknya lokal. Keterkaitan antara kewenangan dan dampak adalah untuk menjamin akuntabilitas dari penyelenggaraan otonomi daerah tersebut. Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota akan bertanggung jawab atas urusan¬-urusan pemerintahan yang berdampak lokal. Pemerintah Daerah Provinsi akan bertanggung jawab atas urusan-urusan pemerintahan yang berdampak regional.

Pemerintah Pusat bertanggung jawab secara nasional untuk menjamin agar otonomi daerah dapat berjalan secara optimal. Konsekwensinya Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawasi, memonitor, mengevaluasi dan memberdayakan Daerah agar mampu menjalankan otonominya secara efektip, efisien, ekonomis dan akuntabel. Untuk supervisi dan fasilitasi terhadap pelaksanaan otonomi di tingkat Provinsi dilakukan langsung oleh Pemerintah. Sedangkan untuk melakukan kegiatan supervise dan fasilitasi terhadap pelaksanaan otonomi di tingkat Kabupaten/Kota, mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas, tidak akan efektip dan efisien kalau dilakukan langsung oleh Pemerintah. Untuk itu Pemerintah berdasarkan prinsip "dekonsentrasi" menugaskan Gubernur selaku wakil Pemerintah di Daerah untuk melakukan kegiatan supervise dan fasilitasi tersebut.

Adalah sulit bagi Gubernur secara pribadi untuk melakukan tugas supervisi dan fasilitasi tersebut. Untuk itu seyogyanya Gubernur memerlukan adanya perangkat dekonsentrasi untuk membantu pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya selaku wakil Pusat di daerah. Untuk mencegah salah persepsi bahwa tujuannya bukan untuk menghidupkan Kanwil dimasa lalu, maka perangkat tersebut lebih optimal berbentuk jabatan fungsional yang bertugas membantu Gubernur secara sektoral ataupun limas sektor yang serumpun seperti ahli kesehatan, ahli pendidikan, ahli kehutanan, ahli keuangan dsb sesuai dengan "magnitude" pembinaan dan pengawasan yang diperlukan oleh Gubernur sebagai wakil Pusat di daerah. Perangkat dekonsentrasi tersebut sifatnya membantu kelancaran tugas Gubernur untuk melakukan supervisi dan fasilitasi terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di wilayahnya dalam melaksanakan otonominya. Pembiayaan dari Gubernur dan perangkat dekonsentrasi yang membantunya dibebankan kepada Pemerintah Pusat melalui APBN.

PENUTUP

Demikianlah pokok-pokok pengaturan yang melandasi pengaturan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU 32/2004. Persoalan mendasar yang perlu diperhatikan adalah bagaimana melakukan sosialisasi secara efektip kepada seluruh stake-holders otonomi daerah yaitu; instansi-instansi di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan masyarakat pada umumnya. Seluruh elemen bangsa akan terkena dampak dari otonomi daerah. Otonomi daerah mengatur manusia sejak lahir (akte kelahiran) sampai mati (akte kematian). Untuk itu maka harus terbentuk pemahaman yang sama tentang otonomi daerah tersebut.
Persoalan kedua adalah bagaimana seluruh stake-holders tersebut mau dan mampu mengawal otonomi daerah agar berjalan sesuai dengan koridor yang ditentukan dalam UU 32/2004. Untuk itu supervisi dan fasilitasi dari Pusat menjadi sangat signifikan untuk mengawal pelaksanaan UU 32/2004 tersebut. Langkah terakhir adalah bagaimana melakukan evaluasi secara obyektif terhadap UU 32/2004. Sebagai suatu hash kebijakan publik (public policy) sudah tentu kebijakan tersebut harus sesuai dengan dinamika perubahan masyarakat.

(Sumber : Jurnal Ilmu Pemerintahan/Penulis DR. I Made Suwandi)

Minggu, 19 Oktober 2008

Parlementer atau Presidensial

Pengantar
Kehidupan ketatanegaraan Indonesia masih memiliki banyak ke kurangan dan bahkan tumpang tindih antara sistem presidensial dan parlementer. Ketidakjelasan penyelenggaraan negara itu mem butuhkan sikap kenegarawanan dari pimpinan lembaga negara untuk mengimplementasikan amanat konstitusi secara benar. Wartawan SP Yuniawan W Nugroho menguraikan dalam tulisan berikut.
Teks Proklamasi pada peringatan HUT ke-62 Republik Indonesia, di Istana Merdeka, Jumat, 17 Agustus 2007 dibacakan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita.
Seusai peringatan Detik-detik Proklamasi, salah seorang anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ferry Mursyidan Baldan dengan nada bercanda mengatakan, "Seharusnya tadi jangan menyebut 'atas nama rakyat Indonesia' tetapi 'atas nama daerah di Indonesia' karena yang membacakan bukan ketua DPR tetapi ketua DPD".
Bagi yang tidak bercanda malah mempertanyakan pembacaan Teks Proklamasi yang begitu penting justru bisa bergantian setiap tahun. Memang, tahun lalu Teks Proklamasi dibacakan Ketua DPR Agung Laksono dan sempat memunculkan sedikit perdebatan ketika Agung membacanya, "Hari 17 bulan 8 tahun 05", sesuai teks asli yang diketik Sayuti Melik. Tahun 2005, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang membacakannya.
Sejak Indonesia memasuki masa reformasi dan segala krisis yang menyertainya, terasa ada kegamangan dalam penyelenggaraan negara. Bukan saja soal siapa yang membacakan Teks Proklamasi di peringatan Detik-detik Proklamasi karena itu hanyalah satu dari sekian fakta kegamangan.
Ketika tidak ada lagi lembaga tertinggi negara, misalnya, banyak di antara kita masih menyebut lembaga tinggi negara, tanpa tahu apa saja dan harus bagaimana dengan lembaga tinggi negara tersebut. Apa bedanya dengan lembaga yang tidak tinggi dan seterusnya.
Padahal tidak ada yang disebut lembaga tinggi negara. Semuanya adalah lembaga negara dan jumlahnya ada delapan. Lembaga negara itu adalah Kepresidenan, MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini pun masih menimbulkan kontroversi, apakah Komisi Yudisial juga disebut lembaga negara atau menjadi bagian dari MA?
Begitu juga MPR yang masihkah perlu ada pimpinan secara permanen, padahal pekerjaannya nyaris tidak ada, kecuali kalau mau menganggap sosialisasi UUD 1945 yang diamendemen adalah tugas MPR. Semuanya memperlihatkan kegamangan, terutama pascaamendemen UUD 1945 yang sudah empat kali dilakukan.
Tidak Konsisten
Kalau mau jujur, kegamangan itu terus berlangsung sampai hari ini, termasuk dan terutama dalam hal menerapkannya dalam sistem presidensial yang dianut. Kesalahan mendasarnya adalah, sistem yang dibangun tidak selalu konsisten dengan yang dianut. Salah satu penyebabnya adalah adopsi, jiplak, comot sana sini dan membangun secara tambal sulam sistem ketatanegaraan.
Tidak ada misalnya, dalam sistem presidensial, seorang presiden menetapkan menteri yang notabene adalah pembantunya dengan meminta persetujuan partai-partai politik, kecuali Indonesia. Tidak ada negara penganut sistem presidensial yang parpolnya mencapai hitungan puluhan. Demikian juga tidak ada di sistem presidensial yang presidennya sering "deg-degan" lantaran khawatir dijatuhkan parlemen, karena berbagai sebab, kecuali di sini.
Indonesia memang terasa seperti perkecualian dalam menerapkan sistem presidensial. Tidak heran mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sering melontarkan guyonan Indonesia negara yang bukan-bukan. Komunis bukan, kapitalis bukan, negara sekuler bukan, negara agama juga bukan. "Ya negara yang bukan-bukan dong kalau begitu," canda Gus Dur.
Namun kalau melihat praktik bernegaranya, tentu saja tidak sedikit yang bingung, terutama pasca reformasi. Mana ada negara yang Komisi Yudisial-nya termasuk lembaga negara, sejajar dengan lembaga kepresidenan, MPR, DPR, DPD, BPK. Walau terkait Komisi Yudisial ini boleh dibilang "kecelakaan" ketika amendemen dilakukan.
Harus Dipahami
Menurut pandangan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Baharuddin Aritonang, yang banyak mengamati masalah-masalah konstitusi, satu hal yang harus dipahami dalam sistem presidensial adalah, presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. "Presiden adalah koordinator dan juga sekaligus inspirator dalam membangun hubungan lembaga negara," kata kandidat doktor bidang hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada itu.
Disebutkannya, terlepas dari kontroversinya, negara ini terlihat benar-benar menganut sistem presidensial ketika Soeharto memerintah.
"Sayangnya, dia itu terlalu lama dan tidak lagi dikontrol oleh DPR. Lembaga negara lain, termasuk lembaga tertinggi negara waktu itu juga tidak mampu mengontrol, di situ kelirunya," katanya.
Namun praktik penyelenggaraan bernegara sudah benar. Mestinya, saat ini, model seperti itu dilakukan, tetapi dengan mendorong DPR yang adalah representasi rakyat melakukan kontrol. Pentingnya checks and balances dalam sistem presidensial dimotori presiden dan dengan dukungan lembaga negara yang lain.
Aritonang mencontohkan kasus MA sebagai lembaga negara yang beberapa waktu lalu diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal itu, seharusnya Presiden Yudhoyono "turun tangan" dan bahkan melakukan intervensi. Bukan dalam arti mem-back up dugaan korupsi yang dilakukan personel di MA, namun lebih bagaimana membuat aturan main atau menciptakan format memeriksa suatu lembaga negara.
Contoh lain adalah pidato kenegaraan yang dilakukan presiden setiap 16 Agustus di depan sidang paripurna DPR. Seharusnya tidak perlu ada sidang serupa yang dilakukan DPD (dijadwalkan berlangsung pada 23 Agustus 2007). "Presiden bisa saja mengajak DPR dan DPD bicara, karena dia juga kepala negara, dan cukup dilakukan satu kali sidang paripurna, misalnya joint session," kata Aritonang.
Diakui, ada juga semacam kekhawatiran kalau format itu dilakukan kemudian diasumsikan sebagai sidang MPR. "Nah di sinilah diperlukan kepiawaian seorang presiden bagaimana menciptakan format dan formula tanpa khawatir dianggap melanggar konstitusi. Saya kira konstitusi kita ini kan harus diterjemahkan dalam praktik penyelenggaraan bernegara," kata Aritonang.
Pendulum Belum Pas
Tentang pentingnya kontrol dalam hal penyelenggaraan negara, terutama oleh DPR terhadap eksekutif (lembaga kepresidenan), dalam sistem presidensial sebenarnya juga sudah jelas. DPR adalah lembaga kontrol dan seharusnya seorang presiden tidak perlu khawatir ketika dikontrol DPR. Repotnya di negeri ini, baik yang dikontrol maupun yang mengontrol kadang-kadang sulit memisahkan antara persoalan pribadi dan persoalan publik atau kelembagaan.
Yang sering muncul adalah yang dikritik merasa kontrol tersebut bertujuan politik dan mengarah pada pribadi, sementara yang mengontrol merasa paling benar. Hal itu pula sebenarnya yang membuat kita sekian lama merasakan benar executive heavy dan sejak reformasi, kurang lebih 10 tahun lalu, pendulum berpindah menjadi legislative heavy.
Sulit sekali rasanya menyeimbangkan pendulum itu ke "arah" yang pas, sesuai sistem yang kita anut. Bukan berarti dalam sistem presidensial DPR harus lemah atau sebaliknya presiden harus kuat, apalagi dominan. Sampai hari ini, terasa benar, pendulum belum seimbang dan masih berat ke legislative heavy, sementara negeri ini bukan penganut sistem parlementer. Kalau pun kepala negara yang sekaligus kepala pemerintahan terlihat "kuat", itu tidak lebih hanya terasa ketika presiden (dan juga wapres) di mana pun berada selalu dalam pengawalan ketat.
Selebihnya, setiap lembaga negara yang ada di negeri ini berjalan sendiri-sendiri, bahkan boleh dikata tak tentu arah. Ironisnya, semua mengatasnamakan rakyat. Kalau pun para lembaga negara itu bertemu dan terlihat bekerja sama, urusannya seringkali hanya "UUD" alias ujung-ujungnya duit. Bukan mengatasi persoalan yang tengah dihadapi rakyatnya.
Contoh jelas soal ini bisa kita lihat dari rencana rapat konsultasi Presiden dan DPR akan digelar Rabu, 22 Agustus 2007, lusa. Rapat ini akan membicarakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan beberapa pasal dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal tentang pilkada. Apakah ini untuk kepentingan rakyat atau sebenarnya hanya kepentingan parpol?
Sejak awal munculnya keputusan MK tersebut kalangan DPR dan terutama partai politik (parpol) gerah dan marah. Ada semacam kekhawatiran dan keterancaman dibolehkannya calon independen maju dalam pilkada tanpa melalui parpol.
Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalatta di beberapa kesempatan di Kantor Presiden ketika ditanya soal ini, pada pokoknya menyatakan,
"Kalau mau cari pekerjaan atau cari makan, jangan ikut pilkada." Maksudnya, calon independen tanpa lewat parpol, ditengarai sebagai ajang seseorang yang sebenarnya menganggur dan melamar kerja. Ada semacam sinisme di situ, ketika Andi Mattalatta melontarkan pernyataan tersebut. Mungkin Andi yang mantan Ketua Fraksi Partai Golkar DPR lupa, selama ini parpol bahkan seringkali menjadi "PT Pilkada Jaya" ketika mengusung seorang calon, baik dari internal parpol maupun orang luar nonparpol. Parpol sebagai kendaraan tidak pernah diperoleh secara gratis dan sama sekali tanpa jaminan "uang kembali" sama sekali, dan semua orang sudah tahu soal itu.
Inti dari semua itu adalah, betapa kita masih menjadikan lembaga negara sebagai "kendaraan" untuk kepentingan pribadi. Pribadi itu bisa berupa kelompok, parpol, atau golongan. Padahal lembaga negara dibentuk untuk kepentingan pemerintah dan negara ini secara umum. Tapi kita sering memperlakukannya sebagai warisan orangtua kita sendiri.
Tidak mudah membenahi semua ini walau upaya itu sudah ada. Presiden Yudhoyono ketika berpidato dalam peresmian gedung MK, Senin pekan lalu mengakui masih adanya kekurangan di sana-sini dalam kehidupan ketatanegaraan.
Konkretnya, hubungan di antara lembaga negara masih harus dibenahi agar makin sesuai dengan cita-cita nasional (sistem presidensial, tentunya) dan amanat konstitusi.
Sudah saatnya bangsa Indonesia berusaha untuk tidak setengah hati dalam menerapkan suatu prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini, guna kemakmuran dan kesejahteraan bersama..
(Sumber: Suara Pembaharuan, 20/08/07)

ILMU PEMERINTAHAN DI INDONESIA

A. Latar Belakang

Bertolak dari pemikiran Bayu Surianingrat yang mengemukakan disiplin ilmu yang tertua adalah ilmu pemerintahan karena sudah dipelajari sejak sebelum masehi oleh para filosof. Dewasa ini, ilmu pemerintahan berjuang keras untuk menjadi ilmu yang mandiri. Untuk memahami makna dari sebuah teori dan definisi ilmu, hendaknya memperhatikan latar belakang lahirnya teori dan defenisi ilmu tersebut secara filosofis, waktu, situasi kondisi dan latar belakang keilmuwan yang melahirkan teori / defenisi tersebut.
Latar belakang pemikiran ini dipengaruhi oleh ruang, waktu, tempat, variasi situasi kondisi dan juga latar belakang bidang studi ( pendidikan ) ilmuwan. Sebelum kita terlalu jauh membahas masalah metode pendekatan historis dalam mencari, menemukan, mengembangkan dan atau menerapkan / mengaplikasikan ilmu pemerintahan, terlebih dahulu kita singgung hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian dan metode ilmu.

B. Pengertian - Pengertian

Ilmu pemerintahan yang kita bahas saat ini, bisa dikategorikan ilmu yang masih baru, atau meminjam pendapat Soewargono ( 1995 : 1 ), ilmu pemerintahan masih sering dipandang sebagai ilmu yang kurang jelas sosoknya. Pemerintahan dalam bahasa inggeris disebut government yang berasal dari bahasa latin gobernare, greek kybernan yang berarti mengemudikan, atau mengendalikan.
Meriam memandang tujuan pemerintah meliputi external security, internal order, justice, general welfare dan fredom. Tidak berbeda jauh dengan S.E. Finer yang melihat pemerintah mempunyai kegiatan terus-menerus ( process ), wilayah negara tempat kegiatan itu berlangsung ( state ), pejabat yang memerintah ( the duty ), dan cara, metode serta sistem ( manner, method, and system ) dari pemerintah terhadap masyarakatnya. Agak berbeda dengan R. Mac Iver, memandang pemerintah dari sudut disiplin ilmu politik, “ government is the organizationof men under authority… how men can be governed “. Maksudnya pemerintahan itu adalah sebagai organisasi dari orang-orang yang mempunyai kekuasaan… bagaimana manusia itu bisa diperintah (R. Mac Iver, The Web of Government, The Mac Milan Compony Ltd New York, 1947 ). Jadi bagi Mac Iver, ilmu pemerintahan adalah sebuah ilmu tentang bagaimana manusia-manusia dapat diperintah ( a science of haw men are governed ).
Guna memahami lebih konkritnya jati diri pemerintahan dari peristiwa maupun aktivitas kegiatan pemerintahan dari perspektif ilmu pemerintahan dengan analisa multidisiplin pendekatan historis, ada lebih baik bila kita menyinggung sedikit peristiwa dan gejala-gejala pemerintahan dari sudut pandang pengertian negara dari para ahli yang berbeda latar belakang keilmuwan.
Sumantri ( Inu, 2001 : 97 ) memndang negara dari segi filsafat ilmu sebagai suatu organisasi kekuasaan. Karena itu, dalam orgnisasi negara selalu kita jumpai organ / alat perlengkapan yang mempunyai kemampuan untuk memaksa kehendak pada siapa saja di dalam wilayah kekuasaaannya. Ahli hukum Hugo de Groot memndang negara merupakan suatu persekutuan sempurna dari orang-orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum. Sedangkan dari keilmuwan sosiologi, memandang negara adalah suatu masyarakat yang monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah ( Max Weber dalam Inu, 2001 : 99).
Sedangkan Ndraha ( 2000 : 7 ) yang secara basic keilmuwan berlatar belakang disiplin ilmu administrasi negara dan ilmu pemerintahan mendefenisikan ilmu pemerintahan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana pemerintah ( unit kerja publik ) bekerja memnuhi dan melindungi tuntutan ( harapan, kebutuhan ) yang diperintah akan jasa publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan.

C. METODOLOGI PENDEKATAN : PENDEKATAN HISTORIS

Dari beberapa teori diatas sebagai acuan pendekatan historis yang akan dipakai guna mengkaji jati diri ilmu pemerintahan secara filsafat dari segi gejala dan peristiwa pemerintahan, maka ontologi ( hakikat apa yang dikaji ) dari ilmu pemerintahan secara obyek materi adalah negara sedangkan obyek fomanya adalah hubungan pemerintah dengan publik dalam kaitan kewenangan dan pelayanan. Secara epistemologi ( bagaimana caranya memperoleh yang dikaji (penegetahuan/ilmu) secara benar ) berkaitan dengan metodologi ilmu pemerintahan dan ciri khas ilmu pemerintahan. Sedangkan secara aksiologi ( mengapa dan untuk apa guna yang dikaji (pengetahuan/ilmu) bagi kehidupan manusia.
Landasan metodologi penelitian maupun metodologi ilmu adalah filsafat ilmu, logi disini bukan berarti ilmu tetapi kajian atau pelajaran tentang metode yang digunakan dalam mencari, mengembangkan, mempelajari dan memanfaatkan ilmu. Penelitian adalah suatu upaya yang bermaksud mencari jawaban yang benar terhadap suatu realita yang dipikirkan ( dipermasalahkan ) dengan menggunakan metode tertentu atau cara berpikir dan teknik tertentu menurut prosedur sistimatis, bertujuan menemukan, mengembangkan dan atau menerapkan pengetahuan, ilmu dan teknologi, yang berguna baik sebagai aspek keilmuwan maupun aspek guna laksana ( praktis ). Oleh sebab itu metodologi penelitian dapat diterjemahkan sebagai cara berpikir dan melaksanakan hasil berpikir ( teknik ) untuk melakukan suatu penelitian secara lebih baik dalam mencapai tujuannya ( efektif ).
Untuk memperjelas sasaran dalam konsep ini, perlu juga kita perhatikan defenisi-defenisi ilmu dari beberapa ahli, untuk memperjelas makna dan apa yang dapat dikatakan ilmu. Sondang Siagian mendefenisikan ilmu sebagai suatu obyek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil, runus yang melalui percobaan yang sistimatis dilakukan berulang kali telah teruji kebenarannya, prinsip-prinsip, dalil-dalil dan rumus-rumus mana dapat diajarkan dan dipelajari.
Secara umum, ilmu adalah akumulasi penegetahuan yang disusun secara sistematis dengan menggunakan metode-metode tertentu, sedemikian rupa sehingga dapat merupakan gambaran, penjelasan dan peramalan mengenai realita sampai pada teknik-teknik mengatasi kejadian-kejadian yang tidak diharapkan, baik yang bersifat spesifik, konkrit dan locus, maupun yang bersifat general, abstrak dan universal (Rusidi, 2001 : 10 ). Sehingga dapat disimpulkan, ilmu memiliki obyek materi ( locus ), dan obyek formal ( focus ) dengan ciri-ciri : mempunyai obyek tertentu, bersifat empiris, memiliki metode tertentu, sistematis, dapat ditransformasikan, bersifat universal dan bebas nilai (Wasistiono, 2002 : 1).
Merujuk pada defenisi ilmu, metodologi suatu ilmu secara formal enbeded dan secara substantif ditunjukkan oleh aksioma, anggapan dasar, pendekatan, model analisis dan konstruk pengalaman dan konsep ( Ndraha, 1997 : 25 ). Secara abstrak metodologi ilmu merupakan cara berpikir dan melaksanakan hasil berfikir ( teknik ) secara formal enbeded dan secara substantif ditunjukkan oleh aksioma, , anggapan dasar, pendekatan, model analisis dan konstruk pengalaman serta konsep yang terakumulasi dari pengetahuan yang tersusun sistematis dengan menggunakan metode-metode tertentu, baik bersifat spesifik, konkrit dan locus, maupun bersifat general, abstrak dan universal yang bertujuan mencari, mengembangkan, mempelajari dan memanfaatkan ilmu.
Dengan meminjam alat metodologi sebagai syarat keilmiahan dalam mengkaji dan mencari jati diri ilmu pemerintahan, metodologi penelitian dan metodologi ilmu menjadi pendukung wajib dalam menganalisis gejala dan peristiwa / kejadian berpemerintahan dengan pendekatan historis serta sistimatika penulisan yang memperhatikan kaidah ilmiah. Pendekatan historis merupakan pendekatan yang menganalisa peristiwa / gejala / aktivitas kegiatan pemerintahan melalui alat analisis sejarah perkembangan pemerrintahan dan aturan / hukum yang menjadi dasar laksana dan hukum aktivitas berpemerintahan yang sah.

D. TEORI DAN ANALISA
Ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana melaksanakan pengurusan ( eksekutif ), pengaturan ( legislatif ), kepemimpinan dan koordinasi pemerintahan ( baik pusat dengan daerah maupun antara rakyat dengan pemerintahnya ) dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan secara baik dan benar, (Inu, 2001:47)
Dari defenisi dan teori-teori di atas dapat disimpulkan, gejala -gejala, peristiwa dan kondii suatu lembaga pemerintahan yang menjadi ontologi ilmu pemerintahan, meliputi :
1. Hubungan pemerintah
2. yang diperintah
3. Tuntutan yang diperintah ( jasa publik layanan civil )
4. Pemerintah
5. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah
6. Pemerintah yang dipandang mampu memenuhi kewajiban dan tanggung jawab tersebut
7. Bagaimana membentukpemerintah yang sedemikian itu
8. Bagaimana pemerintah menunaikan kewajiban dan memenuhi tanggung jawabnya
9. Bagaimana supaya kinerja pemerintah sesuai dengan tuntutan yang diperintah.

Wasistiono ( 2002 : 5 ) melihat ilmu pemerintahan merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara rakyat dengan organisasi tertinggi negara ( pemerintah ) dalam konteks kewenangan dan memberi pelayanan. Meminjam pemikiran Ndraha, dengan melihat gejala-gejala sosial senantiasa terdapat dalam sebuah masyarakat, jika seorang atau suatu kelompok kita jadikan variabel X dan orang atau kelompok lain kita jadikan variabel Y. Jika X disebut pemerintah ( P ) dan Y yang dipenrintah ( YD ), maka hubungan antara P dan YD telah terjadi suatu kegiatan yang disebut pemerintahan atau peristiwa, gejala-gejala pemerintahan. Pengkajian terhadap peristiwa atau gejala-gejala pemerintahan yang terjadi baik sekali lalu maupun berulang telah menjadi sumber bahan konstruksi ilmu pemerintahan.
Dilihat dari konsentrasi administrasi publik atau administrasi pemerintahan yang meliputi kebijakan publik pemerintahan, institusi / kelembagaan / organisasi pemerintahan, birokrasi, manajemen pemerintahan, personil dan keuangan ( anggaran ) pemerintahan, lingkungan administrasi pemerintahan dan segala aktivitas pemerintahan dilandasi oleh adanya bentuk legalitas dari pemerintahan yang berkuasa. Jika perubahan mendasar terjadi pada konsentrasi tersebut yang memfokus pada perubahan sitem, ditandai dengan terjadinya perubahan yang mendasar pada alat gerak pemerintahan itu sendiri ( konstitusi ). Hal ini dapat dilihat dari sistem berpemerintahan di Indonesia mulai dari pasca kemerdekaan, orde lama, orde baru dan pasca reformasi. Sehingga Robertson menilai konstitusi adalah bentuk “ power maps is a of rights, powers, and procedure regulatng the structure with telationships among for the public authorities and between the public authorities and the citizens “.
Secara konkrit aksiologi ilmu pemerintahan dilihat pada peran pemerintahan melalui sudut pandang pendekatan historis meliputi berbagai sejarah peristiwa / kejadian dimana pemerintah menerapkan keadilan, menyelengarakan demokrasi, menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan desentralisasi, mengatur perekonomian, menjaga persatuan, memelihara lingkungan, melindungi HAM, meningkatkan kemampuan masyarakat, meningkatkan moral masyarakat yang dilandasi berbagai aturan yang mengikutinya baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat pemerintah (negara ).
Lahir menjelang pecahnya PD II, konsep Ilmu Pemerintahan terapan pertama kali dirintis oleh G. A. Van Poelje dengan nama “ Bestuurskunde “, negeri Paman Sam menyebutnya Public Administration, namun saat ini administrasi publik diartikan sebagai ilmu administrasi publik. Keberhasilan Van Poelje membebaskan studi tentang susunan dan berfungsinya pemerintah dari tradisi yuridis dengan menggunakan wawasan ilmu penegetahuan sosial, kini terperangkap kembali dalam artian masih ada yang menilai ilmu pemerintahan bagian dari ilmu sosial lainnya seperti ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi dan lainnya.

Secara ciri khas ilmu pemerintahan, dapat ditarik epistimologi dalam gejala pemerintahan meliputi kekuasaan yang sah ( kewenangan ), menampung, menyelesaikan kepentingan orang banyak / masyarakat luas sekaligus dengan pembinaannya, pelayanan kepada masyarakat yang kesemuanya itu dilandasi juga secara operasionalnya ( praktek ) oleh pendekatan historis.
Luasnya dimensi kajian ilmu pemerintahan tidak terlepas dari ruang lingkup permasalahan dan gejala-gejala berpemerintahan. Upaya-upaya pembuktian dan penggalian guna kemandirian ilmu pemerintahan melalui pendekatan disiplin ilmu lainnya yang bersifat multidisiplin maupun interdisiplin ilmu terus dilakukan. Salah satu pendekatan yang dilakukan sesui dengan metode ilmu adalah pendekatan historis.
Diwadahi ilmu hukum dengan perkembangn madzab hukum yang mendominasi suasana pemerintahan di Eropa Barat selama dua abad, mengakibatkan sejarah studi gejala-gejala pemerintahan dipandang sebagai bagian dari studi ilmu hukum. Permasalahan pemerintahan dipandang dan akan dapat diatasi dengan penerapan paraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut dengan tepat dan benar. Sehingga timbul peranggapan bahwa studi gejala pemerintahan merupakan bagian dari ilmu hukum. A. Van Braam sendiri ( Soewargono, 1995 : 2 ) mengemukakan ilmu pemerintahan sebagian besar masih mewqujudkan diri dalam bentuk himpunan studi gejala-gejala pemerintahan yang dihasilkan studi dari ilmu hukum ( dikategorikan sebagai “ juridische bestuurkunde” ). Memang sejarah ilmu pemerintahan tidak dapat dipisahkan dari peraturan / hukum yang menyertainya.
Semakin luas lingkup aktivitas pemerintahan dan kompleksnya gejala-gejala pemerintahan, pakar ilmu pemerintahan dapat merasakan berbagai jenis “ ilmu pemerintahan “ yang bersifat monodisiplinair, misalnya studi ilmu hukum yang hanya mampu memberikan pandangan sepihak dalam melihat gejala-gejala dan berfungsinya suatu pemerintah dan tidak mampu menjelaskan secara integral.
H. J. Logemen ( Saparin, 1986 : 22 ) memandang aktivitas pemerintahan dari sudut pandang hukum tata pemerintahan “ merupakan keseluruhan pranata hukum yang digunakan sebagai landasan untuk menjalankan kegiatan pemerintahan dalam arti khusus ialah pemerintahan dalam negeri dan juga dapat disebut sebagai “ bestuursrecht “ atau hukum tata negara dalam arti sempit “. Sementara fungsi pemerintahan umum ( algemeen bestuur / administrasi publik ) disamping memiliki kewenangan juga mengatur, melayani, memelihara, membina, melindungi kepentingan umum dan warga masyarakatnya melalui pembuatan dan penegakan aturan.
Hal ini terlihat jelas di dalam setiap aktivitas pemerintahan yang selalu berhubungan dan didasari aturan menuju lahirnya hukum atau konstitusi, atau dengan kata lain di dalam tubuh ilmu pemerintahan menjelma pada aktivitas, gejala dan peristiwa pemerintahan terkandung ( lihat Ndraha, 2000 : 1-20 ).
Jadi dari analisis di atas terlihat jelas jika anggapan awal selama ini bahwa ilmu pemerintahan bagian dari studi ilmu lainnya khususnya ilmu hukum tidaklah benar, hal ini sperti diungkapkan Surianingrat “ disiplin ilmu yang tertua adalah ilmu pemerintahan “ dikarenakan keterlambatannya dalam menemukan, membuktikan, menerapkan, mengembangkan, dan memanfaatkan untuk menciptakan jati diri ilmu yang mandiri, dan sekarang ini ilmu pemerintahan telah menemukan jati dirinya.

E. PENUTUP DAN REKOMENDASI

Melalui analisa di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu pemerintahan bukanlah bagian dari suatu disiplin ilmu hukum, politik, administrasi publik maupun ilmu ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari telaahan di atas terhadap gejala-gejala dan peristiwa pemerintahan melalui pendekatan histori. Sehingga dapat diketahui baik secara teoritis / defenisi ilmu pemerintahan melalui aspek guna laksana ( praktis ) dari masalah-masalah kehidupan publik ( masyarakat, organisasi non pemerintah, wiraswasta dan umum ) dengan pemerintah maupun pemerintah dengan pemerintah mengandung peristiwa pemerintahan dan ilmu pemrintahan dari suduit kajian ilmu / studi lainnya.
Dalam menelaah ilmu pemerintahan dilihat dari pendekatan historis tidak dapat dipisahkan dari aspek peraturan / hukum yang mengatur tata laksana pemerintahan. Dimana sejarah pemerintahan dijalankan sesuai dengan peraturan / hukum yang telah ditetapkan baik tertulis maupun tidak tertulis.
Diharapkan melalui penuangan konsep ini ke dalam bentuk tulisan makalah dapat diketahui jelas keberaan jati diri ilmu pemerintahan dan sejarah perkembangan ilmu pemerintahan hingga menjadi ilmu yang mandiri sehingga dapat menjadi perenungan dan pemikiran agar senantiasa terus dikaji dan dikembangkan lebih jauh lagi dan ilmu pemerintahan benar-benar pada bentuk / jati diri ilmu pemerintahan yang konkrit, general dan universal.

Daftar Pustaka:
Inu, Kencana Syafiie, 2001, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Refika Aditama, Bandung
Inu, Kencana Syafiie, 2001, Filsafat Pemerintahan, Perca, Jakarta
Ndraha, Taliziduhu, 1997, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Rineka Cipta, Jakarta
Ndraha, Taliziduhu, 2000, Diktat Kuliah Ilmu Pemerintahan, Program Pasca Sarjana UNPAD, Bandung
Rusidi, 2001, Diktat Kuliah Metodologi Penelitian, Program Pasca Sarjana UNPAD, bandung
Rasyid, M. Ryaas, 1997, Makna Pemerintahan, Yasrif Watampone, Jakarta
Soewargono, 1995, Jati Diri Ilmu Pemerintahan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada IIP, Jakarta
Suriasumantri, Jujun. S, 1996, Filsafat Ilmu (sebuah pengantar populer), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Wasistiono, Sadu, 2002, Diktat Kuliah Metodologi Ilmu Pemerintahan, Program Pasca Sarjana MAPD STPDN, Jatinangor

Jumat, 17 Oktober 2008

TRANSFORMASI KELEMBAGAAN PEMERINTAH DAERAH

Untuk merefleksikan bagaimana transformasi organisasi di lingkungan Pemerintah Daerah saat ini (baik saat berpedoman pada PP No. 84 tahun 2000, dilanjutkan dengan PP No. 8 Tahun 2004, maupun aturan yang baru PP No. 41 Tahun 2007), maka dapat digambarkan secara teoritis pembentukan lembaga-lembaga Perangkat Daerah yang ada kurang mengedepankan pertimbangan-pertimbangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Daerah sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, alasannya; lembaga-lembaga tersebut seyogyanya dibentuk setelah didahului oleh Perda tentang Pembagian Urusan Pemerintahan dan atau Perda tentang Rencana Strategis Daerah yang merupakan “ cornestone “ bagi Peraturan Daerah lainnya yang sifatnya lebih operasional (Sadu Wasistiono mengintrodusir kategori “ Perda Induk ” dan “ Perda Inti “ debateable untuk membedakan beberapa Perda dari segi ruang lingkup kebijakan yang diatur di dalamnya). Hal yang lebih ironis lagi, dalam setiap Perda tentang Kelembagaan Daerah tersebut pada intinya dibuat secara instan dengan mengadopsi sepenuhnya apa yang tertulis dalam PP No. 41 Tahun 2007, tanpa lebih jauh melihat urgensi dan kondisi riil daerah dalam pembentukan suatu unit organisasi
pemerintahan daerah.

Permasalahan yang ada bukan baru pertama kali terjadi, namun karena kurang dicermati dan pada akhirnya dianggap suatu yang lumrah. Konsekuensi lebih jauh dari gejala ini adalah timbulnya formalisme yang disebutkan oleh Riggs sebagai gejala umum Negara Dunia Ketiga, artinya; asal sudah dituangkan dalam bentuk peraturan, semuanya dianggap beres tanpa memperhitungkan lagi urgensi, substansi, apalagi suasana batin perlu tidaknya aturan tersebut.

Dengan kondisi seperti yang diuraikan di atas, sangatlah logis jika kondisi kelembagaan Pemerintah Daerah saat ini lebih digerakkan oleh peraturan ketimbang oleh misi (belum mission-driven sebagaimana dianjurkan Osborne dan Gaebler). Dengan demikian, aspek kebijakan masih saja belum menyentuh seluruh kepentingan masyarakat, desain organisasi lebih mengedepankan akomodasi kepentingan elit lokal ketimbang peningkatan pelayanan publik, aspek akuntabilitas masih saja sebatas drama politik di ruang sidang DPRD, dan aspek moral serta etos kerja semakin kerdil karena tidak diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang secara wajar.

Apakah ada jalan keluarnya ? semua terpulang kepada nurani segenap Aparatur Pemerintah Daerah, seperti Descrates dengan corgito ergo sum-nya, yang menyatakan saya berpikir maka saya ada. Dengan demikian, semuanya dimulai dari pikiran, dibarengi ketekunan dan tindakan kolektif yang digerakkan oleh visi bersama. Hanya dengan jalan demikianlah akan dicapai suatu titik metanoia (shift of mind) yaitu suatu kesadaran untuk membongkar paradigma organisasi yang telah kuno menuju kesadaran baru sebagai organisasi pembelajar (learning organization) kata Peter M. Senge. Hal ini sejalan dengan pandangan Rosebeth Moss Kanter (1995) yang mengatakan siapa yang ingin bertahan dalam memasuki era global haruslah memiliki kekayaan intangible asset 3(C), yaitu; 1) concept, 2) competence, dan 3) connection atau networking.

Begitu pula halnya ungkapan dari Albert Einstein yang mengatakan “The significant problems we face can not be solved at the same level of thinking we were at when we create them.” (Masalah-masalah mendasar yang kita hadapi saat ini tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan level berpikir sebelumnya yang justru menciptakan masalah-masalah tersebut).

Semoga bacaan singkat ini dapat sedikit memberikan sedikit masukan/pemahaman kepada pemerintah daerah. Khususnya para pejabat yang berkompeten dalam proses transformasi, dan penataan Organisasi Pemerintah Daerah saat ini.
Penulis : Yulindra Dedy, S.STP, M.Si
yulindra_dedy@yahoo.com)

Rabu, 08 Oktober 2008

PEMERINTAHAN DAERAH SECARA UMUM

A. Urgensi Pemerintahan Daerah
Kehadiran pemerintahan dan keberadaan pemerintah adalah sesuatu yang urgen bagi proses kehidupan masyarakat Sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat, sekecil apa pun kelompoknya, bahkan sebagai individu sekalipun membutuhkan pelayanan pemerintah. Secara sadar ataupun tidak, harus kita akui bahwa banyak sisi kehidupan kita sehari-hari erat hubungannya dengan fungsi-fungsi pemerintah di dalamnya. Ketika kita lahir, orang tua kita mencatatkan data kelahiran ke Kantor Desa/Kelurahan atau pun Kecamatan untuk memperoleh Akta Kelahiran. Pada masa kanak-kanak, kita membutuhkan sekolah mulai TK hingga Perguruan Tinggi. maka pemerintah telah menyediakan berbagai macam fasilitas belajar. Setelah tamat sekolah kita membutuhkan pekerjaan, dalam hal ini juga pemerintah telah sedapat mungkin menyediakan lapangan pekerjaan di berbagai bidang dan sektor pemerintah. Dalam kehidupan kita sehari-hari, keamanan dan ketenteraman kita dijamin oleh pemerintah dengan berbagai sistem keamanan yang diciptakan.
Ketika kita meninggal pun, peranan pemerintah tetap ada, yakni dalam proses pemakaman sampai membuat Akta Kematian. Masih banyak lagi aktivitas kita sehari-hari yang dilayani pemerintah demi tercapainya berbagai kebutuhan dan kepentingan kita, baik secara pribadi mau-pun secara bermasyarakat.
Jika tidak ada pemerintah, maka masyarakat akan hidup dalam serba ketidakteraturan dan ketidaktertiban yang bukan tidak mungkin akan melahirkan berbagai bentuk kerusuhan dan aksi kekerasan serta tindakan kejahatan lainnya. Kehadiran pemerintah pertama-tama adalah untuk mengatur dan melindungi masyarakat warganya agar senantiasa dalam keadaan aman dan tertib. Jadi, ketika masyarakat menginginkan suatu bentuk kehidupan di luar aturan-aturan pemerintah, maka saat itulah berbagai bentuk persoalan sosial akan muncul. Sebab pada dasarnya manusia menurut Thomas Hobes adalah homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia yang lain).
Dalam hal ini para ahli pemerintahan telah menemukan fungsi utama pemerintahan yaitu fungsi pengaturan (regulation) dan fungsi pelayanan (services). Suatu negara, bagaimana pun bentuknya dan seberapa luas pun wilayahnya tidak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan secara sentral terus menerus. Keterbatasan kemampuan pemerintah menimbulkan konsekuensi logis bagi distribusi urusan-urusan pemerintahan negara kepada pemerintah daerah. Demikianlah di setiap negara di dunia, kewenangan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum didistribusikan secara sentral dan lokal seperti dikatakan Maas (1961).
Dalam suatu negara federal, hal ini semakin tampak, sebab urusan-urusan pemerintahan negara federal merupakan sejumlah urusan sisa dari pemerintahan negara-negara bagiannya. Negara-negara bagian tersebut menyelenggarakan pemerintahan secara local self government dengan sedikit urusannya yang bersifat local state government.
Dalam perkembangannya, kewenangan negara yang ada secara sentral, telah dibagi berdasarkan kegiatan di berbagai departemen. Di tingkat lokal, kewenangan dibagi berdasarkan wilayah yang ada di berbagai pemerintahan daerah di seluruh negara. Kedua sistem tersebut, saling terkait dan melengkapi, sungguhpun dalam praktek, sering tumpang tindih (over lapping) dan saling bersaing. Salah satu faktor yang telah mendorong peningkatan distribusi kewenangan pusat ke daerah ialah berkembangnya sistem komunikasi yang cepat dan langsung, transportasi yang lebih baik, meningkatnya profesionalisme, tumbuhnya asosiasi-asosiasi di samping tuntutan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, pelayanan lebih baik, dan kepemimpinan politik dan administrasi yang lebih efisien. Beberapa hal yang urgen dari keberadaan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, akan dijelaskan lebih lanjut.
Sejarah perkembangan manusia menunjukkan bahwa akibat perbedaan geografis maupun geologis, manusia di berbagai belahan bumi mengalami proses evolusi yang berbeda-beda. Orang Eskimo di kutub es, memiliki perilaku kehidupan tersendiri sesuai dengan tantangan alam yang ada, yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk budaya masyarakat sebagai identitas mereka. Persekutuan di antara mereka dengan ciri-ciri budaya dan perilaku yang sama, kemudian menjadi suatu suku yang secara otomatis berbeda dengan suku lainnya di seluruh dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai akibat hukum alam, maka manusia yang satu akan saling tergantung dengan manusia yang lain. Perbedaan kebutuhan dan kepentingan di antara mereka, menyebabkan terjadinya proses interaksi sosial yang kemudian menjadi pangkal berbagai konflik antar warga atau suku yang saling berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan yang berkaitan dengan latar belakang etnis, bahasa, budaya dan agama, di samping institusi sosial dan pertimbangan politik maupun administratif, pada umumnya merupakan indikator penting bagi perlunya mempertahankan keberadaan sebuah daerah (Maas, 1961).
Dalam aspek potensi yang dimiliki daerah, pertimbangan perlunya pemerintahan daerah memiliki alasannya sendiri. Potensi daerah yang merupakan kekayaan alam baik yang sifatnya dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui seperti minyak bumi, batu bara, timah, tembaga, nikel serta potensi pariwisata lainnya, melahirkan pertimbangan khusus bagi pemerintah pusat untuk mengatur pemerataan daerah. Hasrat ini kemudian mewajibkan pemerintah membentuk pemerintahan daerah sekaligus pemberian otonomi tertentu untuk menyelenggarakan rumah tangga daerahnya. Dalam konteks ini malah ada kecenderungan pemerintah pusat untuk mengatur pemerintahan sampai-sampai daerah kehilangan kreativitas dan inovasi. Dengan demikian sering muncul berbagai persoalan yang menempatkan pemerintah sebagai sasaran kedongkolan masyarakat daerah yang merasa telah dijadikan 'sapi perahan' oleh pemerintah. 'Ujung' otonominya telah diberikan kepada pemerintah daerah, tapi 'ekornya' masih dipegang oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak memiliki keleluasaan dalam menyelenggarakan rumah tangganya, sekaligus menggali potensi-potensi yang ada sebagai penunjang pendapatan asli daerah.
Kebutuhan untuk memanfaatkan institusi daerah disebabkan oleh adanya variasi dalam hal kepadatan penduduk, intensitas kebutuhan dan minimnya sumber daya yang tersedia pada masyarakat (Norton, 1994). Dalam dua dekade terakhir ini, misalnya, kepentingan potensil pemerintah daerah telah meningkat sejalan dengan tuntutan yang semakin besar terhadap pembangunan daerah dan peningkatan pelayanan. Di samping itu, walaupun fenomena diatas mempengaruhi semua lembaga pemerintah daerah, tuntutan bagi yang ada di wilayah perkotaan makin serius. Semakin besar hambatannya, semakin tidak dapat dihindarkan masalah kriminalitas, permukiman kumuh, persediaan air yang tidak mencukupi, fasilitas kebersihan yang terbatas, persekolahan yang tidak memuaskan, dan pengangguran. Hal ini tentunya membutuhkan penanganan yang serius dengan melibatkan unsur lembaga yang mampu mencipta- kan keteraturan. Pemerintah daerah dengan berbagai produk peraturannya dipandang urgen untuk menstabilkan suasana yang rumit ini, sebab jangkauan serta kemampuan pemerintah pusat terlalu jauh untuk menangani masalah ini. Dengan demikian, masalah keterbatasan kemampuan pemerintah pusat juga merupakan salah satu alasan urgennya pemerintahan daerah.
Perbedaan kondisi daerah, kebutuhan daerah, sumber daya daerah, aspirasi daerah dan bahkan prioritas daerah menuntut perlunya diciptakan transportasi kebijaksanaan nasional yang efektif ke dalam program daerah secara responsif dan bertanggung jawab. Kesulitan untuk menjalankan serangkaian pelayanan kepada masyarakat daerah oleh departemen yang ada di pusat seringkali dijumpai di negara mana pun di dunia ini. Bahkan banyak pejabat birokrasi nasional memiliki pemahaman yang minim dalam hal keberagaman kondisi daerah. Hal ini banyak berdampak pada kesulitan pemerintah merealisasikan program-program yang ada di daerah. Masyarakat yang merasa bahwa program pemerintah tidak sesuai dengan aspirasinya, dengan spontan akan pesimis menolak bahkan antipati terhadap program tersebut. Dengan demikian, sulit diharapkan tercapainya partisipasi masyarakat secara maksimal.
Program pemerintah yang tidak aspiratif bersumber dan keengganan aparat pemerintah untuk turun ke lapangan, melihat secara langsung apa yang menjadi kebutuhan mereka, bahkan sedapat mungkin berdialog secara khusus dengan mereka. Kenyataan yang ada di negara kita, tampak bahwa guna menyusun berbagai program pembangunan, pemerintah hanya meneropong dari ketinggian saja atau kalaupun turun ke wilayah, seperti yang dikatakan Chambers (1987) hanya sebagai 'turisme' saja. Akibatnya kebijakan pembangunan yang didasarkan pada pengamatan sedemikian itu banyak yang mengalami error, karena apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi masyarakat tidak sesuai dengan rencana pembangunan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, kemauan baik (good will) pemerintah untuk kontak dengan warga amatlah penting.
Peluang untuk berhubungan secara langsung dengan warga masyarakatnya, memungkinkan pimpinan daerah memperoleh lebih banyak pemahaman yang spesifik mengenai kebutuhan daerah. di samping fleksibilitas yang lebih tinggi dalam pengendalian sumber daya pengalokasian prioritas dan partisipasi masyarakat (Allen, 1990).
Hal-hal di atas merupakan determinan bagi perkembangan dan kesinambungan sistem pemerintahan yang efektiidan ekonomis. Jika “political will di atas terwujud dengan baik, maka akan tercapai sistem administrasi pemerintahan yang efisien. Motivasi administratif bagi keberadaan pemerintah daerah ialah bahwa desentralisasi pembuatan keputusan senantiasa lebih efisien dalam memberikan respon terhadap permasalahan yang dihadapi di daerah.

Berdasarkan uraian diatas, maka dengan memperhatikan fenomena pemerintahan daerah di Indonesia, dapat dikemukakan beberapa alasan tentang perlunya pemerintahan di daerah sebagai berikut :

1. Alasan sejarah
Secara hisitoris eksistensi pemda telah dikenal sejak masa pemerintahan kerajaan-kerajaan nenek moyang dahulu, sampai pada sistem pemerintahan yang diberlakukan oleh pemerintah penjajah, baik pemerintah Kolonialisme Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris maupun Jepang.
Demikian pula mengenai sistem kemasyarakatan dan susunan pemerintahannya mulai dari tingkat desa, kampung, negeri, atau dengan istilah lainnya sampai pada puncak pimpinan pemerintahan. Disamping itu upaya membuat perbandingan sistem pemerintahan yang berlaku di beberapa negara lain, juga amat penting untuk dijadikan pertimbangan bagi pembentukan pemerintahan daerah. Berdasarkan latar belakang sejarah di atas, maka pemerintah Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, merancang UUD yang di dalamnya mengatur secara eksplisit tentang Pemerintahan Daerah. Hal-hal ini terlihat dalam pola pikir dan usulan-usulan yang terungkap sewaktu para pendiri Republik (the founding fathers) ini mengadakan sidang-sidangnya dalam mempersiapkan Undang-Undang Dasarnya, yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1945 merupakan awal mula peraturan tentang pemerintahan daerah di Indonesia sejak kemerdekaan. Ditetapkannya UU tentang peraturan daerah tersebut merupakan resultante dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan kita di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Dengan demikian, produk UU tentang pemerintahan daerah dan seterusnya, yakni, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 44 Tahun 1950, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965 maupun UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, merupakan hasil pertimbangan sejarah pemerintahan negara kita sejak masa lampau, serta dengan perbandingan dengan sistem pemerintahan yang berlaku di beberapa negara di dunia. Jadi, dalam pandangan sejarah, urgensi pemerintahan daerah lebih di dorong oleh eksistensi pemerintahan daerah yang telah berlangsung dan dilaksanakan selang beberapa masa, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan Indonesia.

2. Alasan Situasi dan Kondisi Wilayah
Secara geografis, wilayah Negara Indonesia merupakan gugusan kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang satu sama lain dipisahkan oleh selat, laut dan dikelilingi lautan yang amat luas. Kondisi wilayah yang demikian ini, mempunyai konsekuensi logis terhadap lahirnya berbagai suku dengan adat istiadat, kebiasaan, kebudayaan dan ragam bahasa daerahnya masing-masing. Demikian pula keadaan dan kekayaan alam serta potensi permasalahan yang satu sama lain memiliki kekhususan tersendiri. Keanekaragaman yang menjadi ciri bangsa Indonesia serta potensi-potensi yang melekat di berbagai wilayah Indonesia, tentunya harus di-manage dengan baik sedemikian rupa sehingga mampu menjadi asset bangsa yang berharga untuk mendatangkan devisa guna pembentukan pendapatan nasional. Untuk itu, dipandang akan lebih efisien dan efektif apabila pengelolaan berbagai urusan pemerintahan ditangani oleh unit atau perangkat pemerintah yang berada di wilayah masing-masing daerah tersebut.
Alasan situasi dan kondisi wilayah di atas, akhirnya mendorong pemerintah pusat untuk membentuk dan membina pemerintahan di daerah dengan disertai pemberian hak otonom dalam mengurus rumah tangganya.

3. Alasan Keterbatasan Pemerintah
Setelah disepakatinya azas atau prinsip dan tujuan serta arah perjuangan Indonesia merdeka sebagaimana tertuang dalam naskah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dalam pelaksanaannya diperlukan perangkat pemerintahan di daerah, karena disadari bahwa tidak semua urusan pemerintah dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat. Sebagaimana telah ditekankan pada proses pengambilan keputusan rapat pengesahan UUD 1945, bahwa perangkat pemerintah di daerah adalah sebagai bagian dalam mekanisme pemerintahan pusat dan bukan merupakan negara sendiri. Untuk menjaga kemungkinan agar pemerintahan di daerah itu tidak memisahkan diri dan pemerintah pusat, maka dinyatakan selanjutnya bahwa di samping ada daerah otonom, ada juga yang bersifat administrasi belaka, dimana semua daerah itu merupakan wilayah administrasi Pemerintahan negara yang pembentukannya ditetapkan dengan Undang-undang.
Pemerintahan negara, berfungsi menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang sifatnya umum. Jika diperhadapkan pada kenyataan bahwa kemampuan pemerintah memiliki keterbatasan, maka pertimbangan pendelegasian kewenangan kepada unit pemerintahan di daerah-daerah tidak terhindarkan lagi. Sebab tidaklah mungkin pemerintah dapat menangani semua urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan masyarakat yang mendiami ribuan pulau yang tersebar dan Sabang sampai Merauke. Hal ini membawa konsekuensi logis terhadap kesiapan dan kemauan politik pemerintah untuk menyertakan personel, perangkat dan pembiayaan dalam urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan tersebut.

4. Alasan Politis dan Psikologis
Ketika UUD 1945 dalam masa penyusunan, maka pandangan yang menonjol pada saat itu adalah wawasan integralistis dan demokratis serta semangat persatuan dan kesatuan nasional. Semangat persatuan dan kesatuan tersebut telah menjiwai berbagai rencana pemerintah pada masa itu, termasuk dalam merancang sistem pemerintahan daerah. Dengan demikian, untuk tetap menjaga kekompakan semua tokoh dan keutuhan masyarakat dan wilayah, daerah-daerah perlu memilih pemerintahan sendiri dalam kerangka negara kesatuan, di samping untuk memberikan rasa tanggung jawab dalam mengisi kemerdekaan dan sekaligus memberi kesempatan kepada daerah untuk berperan serta dalam pemerintahan, sebagai perwujudan semangat dan jiwa demokrasi asli bangsa Indonesia.
Alasan politis dan psikologis ini memang tepat, karena sejarah telah membuktikan bahwa sekian lamanya kita hidup di bawah pemerintahan penjajah, semata-mata hanya disebabkan satu faktor utama, yakni lemahnya persatuan dan kesatuan bangsa pada waktu itu. Kondisi wilayah yang begitu luas dan terpisah-pisah oleh lautan, semakin memberi dorongan bagi krusialnya persoalan per- satuan dan kesatuan bangsa. Dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, maka daerah yang satu akan merasa sebagai bagian dari daerah yang lain, dan merupakan suatu kesatuan, sekalipun berbeda-beda adat istiadat, suku bangsa, ras dan agama serta bahasanya. Pembentukan dan pembinaan pemerintahan daerah adalah sarana efektif yang memungkinkan semangat persatuan dan kesatuan tetap terpelihara dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia, karena pemberian kepercayaan kepada pemerintah daerah akan mengurangi beban pemerintah untuk menjaga keutuhan negara yang berbhinneka tunggal ika:

B. Jenis-jenis Pemerintahan Daerah

Menyimak Pasal 18 UUD 1945, secara sepintas terlihat bahwa Pemerintahan di Daerah terdiri atas 2 jenis, yakni pemerintahan lokal administratif atau local state government dan pemerintahan lokal yang mengurus rumah tangga sendiri atau local self government.

1. Local Self Government
Sebagai konsekuensi pelaksanaan asas desentralisasi dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia adalah lahirnya local self government atau pemerintah daerah lokal yang mengurus rumah tangga sendiri. Dalam rangka melaksanakan pemerintahan negara yang sebaik-baiknya di tingkat daerah, dan upaya penyesuaian pemerintahan di tingkat daerah serta untuk mempermudah penyelenggaraan yang sifatnya sangat khusus dalam daerah tertentu, penyelenggaraan dapat diserahkan kepada suatu local government atau pemerintah lokal, yang diberi kewenangan untuk mengurusi kepentingan daerahnya sendiri. Dilihat dan segi tanggung jawab negara, maka mau tidak mau daerah yang menjadi organ pemerintahan negara mempunyai kedudukan sebagai bawahan negara semata-mata.
Dengan Undang-undang, suatu daerah dibentuk, sekaligus ditetapkan kewenangannya. Selanjutnya dengan Undang-undang suatu daerah dapat juga dipecahkan menjadi beberapa daerah, atau sebaliknya disatukan dengan daerah-daerah lain. Undang-undang memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, misalnya hak untuk mempunyai sumber penghasilan sendiri, yaitu dengan memungut pajak dan retribusi. Daerah yang pemerintahannya berdasarkan sistem ini disebut local self government atau pemerintah daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri. Urusannya disebut urusan rumah tangga sendiri atau urusan otonom, yang acapkali disebut otonomi. Sedangkan pemerintahannya disebut pemerintahan daerah otonom. Istilah otonom yang asal katanya autonomy secara etimologis berasal dan kata autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti perintah. Oleh karena itu otonomi berarti memerintah sendiri.
Dapat diartikan bahwa Otonomi Daerah adalah "Hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku". Sedangkan Daerah Otonom adalah "Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku".
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dikemukakan ciri-ciri local self government atau pemerintah lokal yang mengurus rumah tangga sendiri, yaitu :
1). Segala urusan yang diselenggarakan merupakan urusan yang sudah dijadikan urusan-urusan rumah tangga sendiri, oleh sebab itu urusan-urusannya perlu ditegaskan secara terperinci.
2). Penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan oleh alat- alat perlengkapan yang seluruhnya bukan terdiri dari para pejabat pusat, tetapi pegawai pemerintah daerah.
3). Penanganan segala urusan itu seluruhnya diselenggarakan atas dasar inisiatif atau kebijaksanaan sendiri.
4). Hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang mengurus rumah tangga sendiri adalah hubungan pengawasan saja.
5). Seluruh penyelenggaraannya pada dasarnya dibiayai dari sumber keuangan sendiri.
Dengan demikian. Local Self Government atau Pemerintahan Lokal daerah dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia adalah semua daerah dengan berbagai urusan otonomi, yang mengurus rumah tangga sendiri. Hak otonom bagi local self government tentunya harus berada dalam kerangka sistem pemerintahan negara.

2. Local state government
Local state government sering diterjemahkan sebagai Pemerintahan Wilayah. Terbentuknya Local state government adalah sebagai konsekuensi dan penerapan asas Dekonsentrasi. Adanya pemerintah wilayah administratif atau pemerintah lokal administrate dalam menyelenggarakan urusan-urusan pemerintah di Daerah adalah sebagai wakil dan pemerintah pusat atau National Government. Jadi local state government atau pemerintah lokal administratif bertugas hanya menyelenggarakan perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk dari pemerintah pusat. Dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah Pusat (national government) yang ditempatkan di daerah acapkali disebut Pemerintah Lokal Pusat. Juga oleh karena menyangkut nama Pemerintah Pusat atau Pemerintah Negara, acapkali disebut Pemerintah Negara setempat.
Local state government atau pemerintah lokal administratif dibentuk karena penyelenggaraan seluruh urusan pemerintahan negara yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah pusat. Penyelenggaraan pemerintahan semacam ini disebabkan karena sangat luasnya wilayah dan banyaknya urusan pemerintahan. Konsekuensi dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan sistem local state government, maka tugas-tugas Pemda hanya terbatas pada tugas-tugas yang diberikan oleh pemerintah pusat berupa perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk. Terbuka kemungkinan adanya pengaturan yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam rangka upaya penyelenggaraan atau operasionalisasi petunjuk-petunjuk pemerintah pusat tersebut. Dalam kaitan dengan ini, maka perlu diterangkan pula mengenai pemerintah umum pusat di daerah dan pemerintah khusus pusat di daerah dalam kerangka pendalaman tentang konsep local state government tersebut.

C. Varian Struktur Pemerintahan Daerah

Walaupun terdapat beragam varian dalam sistem desentralisasi dengan karateristik yang berbeda, namun pada dasarnya ada empat pola (patterns) field administration and local government system yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Comprehensive Local Government System
Dalam sistem ini, sebagian besar urusan pemerintah pada tingkat daerah diserahkan kepada dan dikelola sepenuhnya oleh pemerintah daerah, baik urusan itu termasuk kewenangan otonomi daerah, maupun kewenangan daerah, dengan kemungkinan ditunjang oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah melaksanakan beberapa fungsi sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlalu, serta melaksanakan fungsi-fungsi lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat, atas nama departemen atau pemerintah pusat. Negara-negara di dunia yang menerapkan sistem ini, misalnya India, Pakistan, Sudan, dan Uni Arab Republik.

2. Partnership Local Government System
Dalam sistem ini, beberapa fungsi tertentu yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh unit pelaksana kantor pusat, dan urusan pelayanan yang lainnya dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah melaksanakan fungsi-fungsi tersebut sedikit banyak lebih bersifat mandiri (selfstanding, autonomously) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya, serta dapat melakukan beberapa tugas lainnya atas nama dan di bawah supervisi-teknik dari departemen pusat. Jadi, dalam sistem ini unsur-unsur pemerintah tertentu bisa dilakukan oleh unit dari departemen pusat atau pemerintah daerah, tergantung pada kebutuhan dan situasi. Contoh negara-negara yang menerapkan sistem ini adalah Srilangka, Kawasan Negara-negara yang berbahasa Inggris di Afrika, Nigeria Barat, dan sebagainya.

3. Dual System of Local government
Dalam sistem ini, departemen di pusat secara langsung melakukan tugas-tugas pemerintah daerah, dan tidak membentuk atau menunjuk unit pelaksana. Sedangkan pemerintah daerah, menurut perundang-undangan mempunyai kewenangan otonomi melakukan tugas-tugas otonominya, dan melakukan hal-hal yang dapat mendorong perkembangan daerah. Namun, dalam prakteknya sedikit sekali yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, sebab dalam sistem ini sering terjadi konflik dan overlapping tugas-tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Yang menonjol dalam sistem ini, adalah pemerintah daerah lebih berperan sebagai alat political decentralization daripada sebagai alat peningkatan pembangunan sosial ekonomi. Hal ini berakibat, pemerintah daerah tidak dapat dengan leluasa menyelenggarakan urusan rumah tangganya untuk memacu pembangunan secara komprehensif multidimensional. Pemerintah daerah hanya diperlukan untuk mempercepat proses pencapaian tujuan pemerintah pusat secara sepihak. Sistem seperti ini umumnya diterapkan di Amerika Latin, dan sebagainya.

4. Integrated Administrative System
Di dalam sistem ini, semua badan-badan Pemerintah Pusat langsung melakukan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat, dimana central government area coordinators atau semacam Kepala Wilayah bertanggung jawab untuk bertindak sebagai koordinator bagi unit pelaksana termasuk technical agencies dari pemerintah daerah. Dengan demikian, peranan pemerintah daerah relatif sangat kecil untuk mengontrol kegiatan pemerintah dan staf di wilayahnya, karena semua kegiatan pemerintah berada di bawah koordinasi koordinator wilayah. Sistem seperti ini sangat rawan untuk terjadinya pergolakan daerah atau separatisme, karena daerah menjadi semakin tidak berdaya dan kehilangan wibawa. Sistem seperti ini telah diterapkan di negara-negara Asia Tenggara dan Timur Tengah.

Total Tayangan Halaman

ARTI SAKATIK

SELAMAT DATANG DI BLOG SAKATIK.COM
KATA SAKATIK DIAMBIL DARI BAHASA DAYAK NGAJU YANG MEMILIKI ARTI "SEBAGAI PEMBIMBING" ATAU BISA DIKATAKAN SEBAGAI "MENTOR/GEMBALA" BAGI SEMUA ORANG.
MELALUI BLOG INI SEMOGA DAPAT MENJADI SEBUAH SUMBER KEBAIKAN BAGI SEMUA ORANG.