Senin, 16 Februari 2009

SAVE OUR BORNEO FROM AUTONOMY


10 tahun era otonomi daerah meninggalkan suatu pemahaman yang berbeda dikalangan praktisi politk dan pemerintahan maupun dengan para praktisi pendidikan. Hal ini bisa kita pahami jika melihat pemahaman akan otonomi daerah yang diatur dalam 2 (dua) UU terakhir yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Dalam UU No 22/1999, otonomi daerah didefinisikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.
Sedangkan dalam UU No 32/2004, definisi itu direduksi menjadi “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan.
Perubahan makna ini banyak dipertentangkan oleh banyak kalangan. Dimana disampaikan bahwa secara implisit, penghapusan kalimat “menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat” mengindikasikan matinya inisiatif lokal dan local genius dalam pelaksanaan otonomi daerah ke depan. Selain itu, pemisahan “urusan pemerintahan” dan “kepentingan masyarakat” juga mengandaikan adanya urusan pemerintahan yang berbeda dengan kepentingan masyarakat setempat.
Namun jika kita mengacu pada filosofi dan tujuan dasar otonomi daerah, sebenarnya otonomi daerah adalah merupakan suatu langkah untuk mendekatkan fungsi pemerintahan kepada masyarakat, sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Secara kasat mata, perkembangan pembangunan (infrastruktur) selama era otonomi diakui membawa perubahan yang cukup signifikan. Hal ini bisa dilihat dengan terbukanya akses jalan lintas kabupaten/kota, berkembangnya kondisi sarana dan prasarana kantor akibat lahirnya daerah otonom baru, dll.
Namun jika kita bicara masalah lingkungan, terutama di era otonomi daerah di Provinsi Kalimantan Tengah, saat ini tak lepas kaitannya dengan perusahaan tambang dan perkebunan besar kelapa sawit. Meski menghasilkan, dua sektor usaha ini dituding menjadi biang kerusakan lingkungan paling parah secara khusus di Pulau Kalimantan. Sebagai contoh adalah bagaimana tingginya persentase kerusakan hutan di salah satu daerah otonom baru di Provinsi Kalimantan Tengah mencapai angka 71,23 %. Demikian halnya saat digelarnya Rakor Lingkungan Hidup Regional Kalimantan yang diikuti sedikitnya 200 peserta dari empat provinsi se-Kalimantan, di Palangka Raya. Dua peserta rakor, Yapet P Nandjan dan Prof KMA Usop satu pemikiran menyebut kerusakan lingkungan itu dipicu oleh kebun sawit dan pertambangan. Ditegaskan oleh salah satu peserta rakor : “Jangankan lingkungan, semut dan cacing pun yang merupakan mata rantai ekosistem paling penting, mati terbunuh dan terbuang. Oleh karena itu, imbuhnya, perlu kepedulian pihak terkait agar upaya reklamasi dapat dilakukan. Apabila tidak ada yang peduli, sebaiknya izin pertambangan jangan diberikan perpanjangan”. (Written by saveourborneo, Saturday, 06 September 2008).

Dari kondisi riil tersebut, kita sudah bisa membayangkan hanya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, kondisi lingkungan secara khusus hutan hijau di provinsi kalimantan tengah yang kita banggakan sebagai paru-paru dunia (heart of borneo) hanya akan menjadi sebuah kenangan semata. Pulau Kalimantan akan sama nasibnya dengan pulau-pulau lainnya yang ada di Indonesia ini, mengalami perubahan fungsi menjadi hutan sawit dan areal tambang yang dalam kenyataannya hanya memberikan keuntungan bagi segelintir pihak saja..Bisa kita bayangkan bagaimana jadinya Pulau Kalimantan/Borneo yang kita cintai ini, jika kita tidak segera sadar dengan kondisi yang menyerang kondisi lingkungan dan alam kita.

Sebagai akhir perenungan kita, saya mengutip Perintah Allah dalam Kej 1: 28, bahwa Allah menempatkan manusia sebagai makhluk yang lebih tinggi, berkuasa (antroposentrisme). Menurut J. Baird Callicott, gagasan mengenai antroposentrisme mesti dilengkapi dengan cara pandang yang lain. Lantas, Baird menggunakan istilah baru yakni “biocentrism” dan “ecocentrism”. Dalam biocentrism yang ditekankan adalah manusia ikut memelihara kelangsungan hidup mahkluk hidup. Sedangkan dalam ecocentrism yang ditekankan adalah mengharmonisasikan diri dengan alam. Manusia mesti mengarahkan dirinya pada alam. Karena pada kenyataannya, kekuatan alam lebih kuat dibanding manusia. Sambil mengutip Leopold, Callicott mengatakan, manusia zaman kiwari mesti menyadari land ethics atau environment ethic:” a thing is right when it tends to preserve the integrity, stability and beauty of biotic community; it is wrong when it tends otherwise.”

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

ARTI SAKATIK

SELAMAT DATANG DI BLOG SAKATIK.COM
KATA SAKATIK DIAMBIL DARI BAHASA DAYAK NGAJU YANG MEMILIKI ARTI "SEBAGAI PEMBIMBING" ATAU BISA DIKATAKAN SEBAGAI "MENTOR/GEMBALA" BAGI SEMUA ORANG.
MELALUI BLOG INI SEMOGA DAPAT MENJADI SEBUAH SUMBER KEBAIKAN BAGI SEMUA ORANG.